Minggu, 11 Juli 2010

WAKTU - Memanfaatkannya Cara Islam

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur’an, Allah SWT berfirman ; Artinya : "Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Qur'an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Yunuus : 61)

Sering kita dengar ada orang yang mengatakan bahwa dirinya sangat sibuk dengan urusan bisnisnya sehingga tidak ada waktu sedikitpun untuk keluarga dan bahkan untuk sejenak bertemu Tuhannya, dalam sholat di waktu-waktu yang telah ditentukan. Rasanya perkataan orang seperti itu hanya mengada-ada saja, cuma salah satu upaya melarikan diri dari tanggung jawab dan kewajiban pada keluarga dan Tuhannya. Kalaupun ada yang seperti itu berarti dia sudah menjadi budak dunia; dia lebih cinta kepada kehidupan dunianya daripada cinta kepada akhiratnya (yang baginya hanya khayal belaka dari orang gila yang telah mengaku-aku diri sebagai Nabi dan Rasul). Dia tidak percaya, tidak beriman, padahal Allah SWT telah menjelaskan : “Apakah (mereka lalai) dan tidak memikirkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila. Dia (Muhammad itu) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan lagi pemberi penjelasan.” (Al A’raaf : 184)

Karena tidak percaya kepada Nabi sebagai utusan Allah yang tugasnya memberi peringatan, maka jalan hidup mereka itupun bukanlah jalan seperti yang ditunjukkan oleh Al Qur’an dan Al Hadits, melainkan jalan yang ditunjukkan oleh syaitan. Mungkin inilah salah satu penyebab mengapa sering kita dengar ada keluarga yang berantakan, broken home; ibu entah mengapa di mana dan bapak juga sama saja dan lalu anak pun liar di mana-mana. Anak kurang arahan dan kasih sayang di rumah, lalu mencari kasih sayang itu di luar rumah. Mencari di antara teman-teman di luar rumah yang ternyata juga punya nasib sama dengan dirinya (Karena saling bertemu di luar rumah). Mereka senasib sependeritaan, lalu bersama-sama mencari jalan keluar. Tetapi karena tidak ada pengarahan yang baik, maka jalan keluar yang ditemui justru adalah jalan masuk menuju ke tempat syaitan. Kasih sayang seperti di rumah yang dicari tentu saja tidak dapat ditemukan di jalanan di luar rumah. Kalaupun bertemu, itu adalah kasih sayang semu yang jauh berbeda dengan kasih sayang dari orangtua kepada anaknya (yang normal). Mereka menemukan kasih sayang di jalan syaitan yang membawa malapetaka bagi dirinya dan orang tuanya.

Bisa saja anak itu terlibat tawuran, terbelit kriminal, terikat narkotika, terpikat hubungan sex bebas. Jalan yang ditemukan jelas sudah arahnya. Jalan ke masa depan suram. Kalau sudah begitu tidak ada artinya lagi harta yang ditumpuk, (yang dicari siang malam sehingga lupa waktu), karena mencari kemegahan dunia semata. Kalau ini berlanjut sampai mati, sampai masuk kubur, maka pada waktu itu barulah dia melihat (dengan ‘ainul yakin) betapa Nabi, Rasulullah itu benar, bukan orang gila dan tidak mengada-ada. Tentu saja penyesalan sudah tidak ada gunanya lagi.

Firman Allah SWT dalam Al Qur’an telah mengingatkan : “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan `ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (At Takaatsur : 1-8)

Waktu dan Manusia

Manusia tidak dapat dipisahkan dari perjalanan atau pergantian waktu. Hidup manusia itu sendiri sejak masih di alam ruh sampai ke alam dunia dan kelak di alam barzah adalah merupakan bagian perjalanan waktu (Lihat antara lain Surah Al Hajj : 5). Oleh karena itu manusia diperintahkan agar memperhatikan, menela’ah dan memikirkan perjalanan waktu itu untuk :

Pertama, Agar mengetahui kebesaran Allah Yang Menciptakan adanya waktu dan lalu agar manusia itu bersyukur, tunduk, patuh dan bertaqwa hanya kepada Allah semata. (Lihat antara lain Luqman : 29; Ar Ruum : 23; Ar Ra’d : 2 dan Yunuus : 5).

Kedua, Mengetahui bahwa hidup di dunia itu hanya sementara waktu saja, (Lihat antara lain surah Al Baqarah : 36, 281 dan Al A’raaf : 24, 34), sehingga diharapkan :

Ketiga, Agar manusia memanfaat-kan waktu-waktu yang hanya sementara itu sesuai dengan perintah Allah SWT. (Lihat antara lain surah Ali Imraan : 17, 113, 134; An Nisaa’ : 103; Al A’raaf : 205 dan Al Ashr : 1-3), sehingga akhirnya :

Keempat, Agar manusia itu tidak termasuk ke dalam golongan orang yang merugi. (Lihat antara lain surah Al Baqarah : 281; Ali Imraan : 106 dan Al Ashr : 1-3)

Memanfaatkan Waktu Cara Islam

Memanfaatkan waktu secara Islam adalah melewatkan, menghabiskan atau menggunakan waktu sesuai Al Qur’an dan Al Hadits. Untuk dapat memanfaatkan waktu secara baik dan benar maka terlebih dahulu harus dipelajari karakteristik atau sifat-sifat dari waktu itu, yaitu :

(1) Waktu kalau sudah berlalu terasa cepat sekali. Apalagi kalau manusia itu sedang dikejar-kejar batas waktu (target), maka dia akan merasa waktu itu berjalan cepat. Begitu pula ketika saat maut menjelang sedangkan bekal akhirat rasanya masih kurang, maka waktu hidup sekian tahun yang lalu itu rasanya seperti sekejap mata saja. (Lihat An Naziaat : 46 dan Yunuus : 45)

(2) Waktu yang sudah berlalu tidak dapat kembali lagi atau diganti dengan waktu yang lain. Kalaupun ada perkataan mengganti waktu yang hilang dengan waktu yang lain maka yang dimaksud itu bukanlah waktunya yang diganti, melainkan pekerjaan yang sama itu (yang tidak dikerjakan pada waktu yang lalu itu) dikerjakan pada waktu yang lain. Jatah waktu manusia di dunia sudah tertentu lamanya. Bila sehari berlalu maka berarti jatah di dunia telah berkurang sehari sebanyak hari yang berlalu itu. Apa jadinya kelak apabila banyak waktu yang berlalu itu hilang, lewat begitu saja tanpa ada amal ibadah di dalamnya yang kita kerjakan? Al Qur’an menyatakan kita termasuk orang yang merugi. (Lihat Surah Al Ashr).

(3) Waktu adalah nikmat, karunia Allah yang paling mahal bagi manusia. Sangat mahal dan bahkan tidak ternilai harganya. Dapat kita lihat gambaran berikut ini. Misalnya ada seseorang yang mengetahui bahwa satu menit lagi dia akan mati maka dia akan minta ditangguhkan sebentar saja supaya dia dapat berbuat amal sholeh sebanyak-banyaknya dalam waktu yang singkat itu. Kalau misalnya dapat diberi penangguhan dengan membayar maka dia berani membayar berapapun saja biaya yang diminta. (Lihat Al Munafiqun : 10). Berapa banyak orang yang sakit keras, dalam sakaratul maut, berada di ruang ICU (Intensive Care Unit), bersama tim dokter, perawat yang terkadang bukan Islam; dijauhkan dari keluarganya, dijauhkan dari orang yang membaca Al Qur’an (surah Yaasiin) baginya, dijauhkan dari pembimbing talqin yang membacakan Laailaha illallah. Mereka berani membayar biaya tinggi untuk menyelamatkannya dari el maut dan untuk itu apapun siap dijual.

Kemudian agar waktu dapat dilewatkan sesuai ajaran Islam maka harus diketahui pula tujuan hidup di dunia. Al Qur’an menjelaskan bahwa tujuan manusia diciptakan adalah agar beribadah kepada Allah : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz Dzaariyaat : 56)

Beribadah bukan hanya menjalankan perintah-Nya yang wajib seperti tercantum di Rukun Islam yang lima serta melakukan amal sholeh yang bernilai sunnat saja, tetapi juga mengerjakan perbuatan mubah dengan niat karena Allah. Misalnya, diam adalah pekerjaan mubah, tetapi kalau diam karena Allah agar tidak berdosa, misalnya menyakiti orang, maka diam itu menjadi bernilai ibadah. Amalan wajibpun bila tidak diawali dengan niat karena Allah maka tidak bernilai ibadah.
Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya amalan itu berdasarkan niat dan bagi tiap orang apa yang diniatinya.” (HR. Bukhari)

Jadi melewatkan waktu yang baik dan benar cara Islam agar bernilai ibadah adalah setiap melakukan perbuatan (baik wajib, sunnat maupun mubah) sekecil apapun hendaklah diawali dengan niat karena Allah semata : “Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,” (Al An’aam : 162)

Waladzikrullahi Akbar

Jum’at, 14 Muharam 1420 H - 30 April 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar