Selasa, 13 Juli 2010

MURAQABAH - Allah Ada Dimana-mana

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur'an, Allah SWT berfirman ; Artinya : "Dan Dia-lah Allah (yang disembah) di langit dan di bumi. Dia mengetahui yang kamu rahasiakan dan yang kamu nyatakan dan mengetahui apa yang kamu usahakan". (Al An'aam : 3)

Media cetak maupun tv pada awal Juli ‘97 yang lalu ramai memberitakan masalah korupsi. Topik ini sempat hangat juga saat kita masih dalam masa kampanye pemilu yang lalu. Menurut Menpan TB Silalahi, korupsi ini hanya bisa dihapus di sorga (Harian Republika, Rabu, 9 Juli 1997, hal. 2). Kemudian diberitakan pula bahwa satu lembaga konsultan asing bernama Political And Economy Risk Consultans (PERC) telah membuat laporan bahwa ada indikasi negara kita adalah negara paling korup di Asia. Dan diberitakan juga pernyataan dari Badan Pengawas Keuangan (BPK) bahwa pada semester I tahun 96/97 terdapat 33 (tiga puluh tiga) kasus korupsi yang merugikan negara sampai senilai Rp.585,05 miliar. Suatu angka yang sungguh sangat fantastis bila dibandingkan dengan dana untuk daerah tertinggal (IDT). Kemudian ditulis bahwa sebenarnya Indonesia sudah memiliki undang-undang anti korupsi yaitu UU No.3/1971; UU tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Masya Allah. Mengapa ya, koq bisa terjadi. Siapa dan apanya yang salah? Kenapa mereka tidak takut, padahal sanksinya ada.

Sebagai umat Islam, kita tahu bahwa hal itu adalah karena kesalahan kita juga, karena kita lebih cinta dunia daripada akhirat. Kecintaan kita kepada dunia telah mengalahkan kegairahan diri kita terhadap keridhaan Allah, sehingga kita berani melanggar rambu-rambu larangan-Nya dan menjauhi perintah-Nya. Padahal ajaran Islam itu menyuruh sebaliknya yaitu hendaklah kita mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Korupsi itu bersaudara kandung dengan mencuri; keduanya sama-sama merugikan orang lain dan sama-sama dilaknat. Beda secara garis besar adalah dari pekerjaan atau jabatan si personal yang melakukannya. Korupsi dilakukan oleh orang yang diangkat atau dipercaya untuk menjalankan suatu tugas, baik oleh lembaga negara maupun swasta. Dia melakukan korupsi tidak hanya dalam bentuk uang atau harta saja tetapi juga dalam bentuk lain seperti waktu, fasilitas yang ada, menerima suap, menggunakan jabatan dan wewenang untuk kepentingan diri pribadi, keluarga serta kerabat (conflict of interest), dll.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, korupsi berarti penyelewengan, penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Mencuri berarti mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi. Bagai mana sanksi hukuman yang diberikan kepada mereka? Islam memberikan hukuman had kepada pencuri dengan memotong tangannya sebatas pergelangan tangan kanan bagi orang lelaki atau perempuan berusia baligh, yaitu bila dia terbukti mencuri dengan nilai mencapai seperempat dinar yakni sama dengan satu mitsqal mata uang emas murni (Lihat Surah Al Maidah : 38 dan Kitab Fiqh Fat-hul Mu’in).

Kelihatan kejam hukum Islam itu, tetapi kalau kita pelajari hikmah yang terkandung di dalamnya maka sebenarnya tidak karena had ini akan membuat orang tidak berani untuk berbuat. Bagaimana dengan hukuman bagi koruptor? Mestinya dapat hukuman yang lebih berat, apalagi yang disikat mencapai milyaran rupiah. Dalam hal ini perlu dikaji hadist dari Rasulullah SAW sbb : “Jamin aku dengan enam hal, dan aku akan jamin engkau dengan surga : Bila seorang di antara kalian berkata, dia tak boleh berkata bohong; bila dia dipercaya (diberi amanat), dia tak boleh berkhianat; bila dia berjanji, dia tidak boleh ingkar; engkau harus menahan tanganmu (dari berbuat dosa); engkau tidak boleh mencari-cari persoalan; dan engkau harus menjaga kemaluanmu (kehormatanmu)”.

Dari hadist di atas yang bernama pencuri, penipu, pengkhianat dan ingkar janji itu dapat dipegang rangkap oleh seorang koruptor. Jadi sungguh berat sebenarnya hukuman bagi seorang koruptor daripada seorang pencuri. Tetapi bagaimana kenyataan yang kita hadapi sekarang dengan menggunakan hukum dunia buatan manusia? Tergantung pada situasi dan kondisi jaksa yang menuntut dan juga hakim yang mengadili.

Yang terpenting bagi kita saat ini adalah bagaimana cara mencegah diri agar tidak terjerat oleh kedua kejahatan itu? Islam mengajarkan agar kita melakukan muraqabah. Melakukan mawas diri dengan selalu menjadikan Allah SWT sebagai Pengawas. Cara ini akan menyebabkan diri kita tetap terpelihara dan terhindar jauh dari perbuatan yang dilarang-Nya karena kita merasakan Allah ada di mana-mana dan selalu ada mengawasi seluruh gerak rohani jasmani kita. Dia mengetahui segala sesuatu, walaupun hal itu dirahasiakan jauh di lubuk hati kita nan dalam, demikian Allah SWT berfirman ; Artinya : "Dan Dia-lah Allah (yang disembah) di langit dan di bumi. Dia mengetahui yang kamu rahasiakan dan yang kamu nyatakan dan mengetahui apa yang kamu usahakan". (Al An'aam : 3)

Artinya : "Dan ketahuilah sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun". (Al Baqarah : 235)

Untuk itu kita harus selalu ingat-ingat bahwa apapun yang kita perbuat akan di catat dan pada sa’atnya dibukakan untuk dilihat lagi pada hari akhir kelak dan Allah itu menghitung segala sesuatu tanpa ada yang tertinggal, demikian difirmankan Allah SWT ; Artinya : "Dan diletakkan kitab (buku amal), lalu engkau melihat orang-orang berdosa itu ketakutan dari apa-apa (yang tertulis) padanya dan mereka berkata : "Wahai celakanya kami, mengapakah kitab ini tidak (melupakan) yang besar dan yang kecil melainkan dihitung semuanya. Dan mereka mendapat apa-apa yang telah dikerjakannya itu hadir (tercatat). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seseorang". (Al Kahfi : 49)

Rasulullah SAW telah mengingatkan pula bahwa janganlah kita terjang larangan Allah walaupun ketika itu sedang sepi sendirian, karena hal itu akan menghilangkan pahala kebaikan : "Sungguh saya mengetahui beberapa kaum dari umatku datang pada hari kiamat kelak dengan membawa kebaikan-kebaikan seperti gunung Tihamah yang putih, lalu Allah menjadikan kebaikan-kebaikan itu (seperti) debu yang beterbangan. Adapun mereka itu adalah saudara-saudaramu, dan dari jenis kulitmu, dan menjadikan malamnya sebagaimana kamu menjadikannya, akan tetapi mereka adalah kaum yang apabila sepi (menyendiri) dengan hal-hal yang diharamkan oleh Allah, mereka menerjangnya". (HR. Ibnu Majah)

Abul Qasim al Junaidi ketika menguji para santrinya untuk bermuraqabah telah menyuruh mereka mengadakan rihlah rahasia di padang pasir dan meminta mereka agar menyembelih burung di tempat sepi yang tidak ada seorangpun dapat melihatnya. Hanya seorang saja yang tidak mampu untuk melaksanakannya, karena katanya Allah SWT selalu ada di mana-mana bersamanya.

Bahkan Sayidina Umar bin Khattab RA pun pernah terperangah ketika menguji iman seorang budak kecil yang menjadi penggembala ternak kambing melalui "jual beli" tanpa sepengetahuan si majikan pemilik ternak. Jawaban anak itu sungguh mengharukan ketika dikatakan bahwa majikannya tidak akan tahu bila dikatakan kambingnya dimakan serigala; dan lalu si anak berkata : " Allah ada dimana ?". (Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin).

Qashash (Kisah) yang telah diceritakan di atas adalah untuk meneguhkan hati, sebagai pengajaran dan peringatan agar kita tidak lengah dalam meniti jembatan menuju keridhaan Allah.

Allah SWT telah berfirman ; Artinya : "Dan segala yang Kami ceritakan kepadamu dari cerita rasul-rasul yang dengannya Kami kuatkan hatimu, dan dalam cerita ini telah datang kepadamu kebenaran, pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman". (Huud : 120)

Anda dapat memetik hikmah dari kisah tersebut, menjadi pelajaran sehingga selalu istiqomah, secara tetap dan terus menerus, teguh, disiplin dalam berbagai ketaatan kepada Allah, melaksanakan perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya baik dalam terang maupun gelap, dalam keramaian maupun dalam kesendirian dan selalu melakukan muhasabah (introspeksi) tentang amal-amal yang lalu, karena Nabi SAW telah berpesan : "Orang yang cerdik adalah orang yang menghitung-hitung (kekurangan) dirinya dan beramal untuk bekal nanti sesudah mati. Dan orang yang lemah adalah orang yang memperturutkan nafsunya untuk memenuhi segala keinginannya dan mengangan-angankan ampunan kepada Allah Ta'ala (tanpa dibarengi dengan amal perbuatan)". (Dalam Tanbihul Ghafilin)

Biasakanlah selalu untuk berbuat amal kebaikan dengan mengerjakan yang disunnahkan di samping yang wajib (yaitu menjauhi larangan-Nya dan mematuhi perintah-Nya), baik ketika sendiri maupun ketika disaksikan, karena setiap kebaikan akan dibalas dengan kebaikan pula.

Firman Allah SWT ; Artinya : "Dan barangsiapa mengerjakan kebaikan, Kami tambahkan kebaikan kepadanya; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penerima syukur". (Asy Syuuraa : 23)

Rasulullah SAW bersabda : "Allah Ta'ala berfirman (Dalam hadits Qudsi) : "Siapa saja yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku nyatakan perang kepadanya. Sesuatu yang paling Aku sukai dari yang dikerjakan hamba-Ku untuk mendekatkan diri (taqarub) kepada-Ku, yaitu apabila ia mengerjakan apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Seseorang itu senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan mengerjakan amalan-amalan sunnah, sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku merupakan pendengaran yang ia pergunakan untuk mendengar, Aku merupakan penglihatan yang ia pergunakan untuk melihat, Aku merupakan tangan yang ia pergunakan untuk menyerang dan Aku merupakan kaki yang ia pergunakan untuk berjalan. Seandainya ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya, seandainya ia berlindung diri kepada-Ku, niscaya Aku melindunginya". (HR. Bukhari)

Barangsiapa yang membiasakan dirinya memelihara perintah Allah dan larangan Allah maka akan dirasakannya bahwa Allah selalu ada besertanya. Inilah sikap ihsan yang sempurna, merasakan bahwa Allah selalu hadir dan mengawasinya.

Diriwayatkan bahwa Jibril AS bertanya kepada Rasulullah SAW perihal arti ihsan (berbuat baik). Beliau SAW lalu menjawab dengan sabdanya : “Hendaklah engkau menyembah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya dan jikalau engkau tidak dapat seolah-olah melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia itu melihatmu” (HR. Muslim).

Rasulullah SAW juga bersabda :"Peliharalah (perintah dan larangan) Allah, niscaya kamu akan selalu merasakan kehadiran-Nya. Kenali lah Allah ketika senang, niscaya Allah akan mengenali ketika kamu kesulitan. Ketahuilah, apa yang luput dan apa yang akan mengenaimu pasti tidak akan meleset dari kamu". (HR. Turmudzi)

Adapun cara yang telah diajarkan Nabi SAW, hendaklah berusaha sekerasnya menjaga pandangan mata dalam upaya menjauhi dan menghindari perbuatan yang dilarang-Nya, sesuai sabda Rasulullah SAW dengan membawakan firman Allah dalam hadits Qudsi : "Pandangan mata adalah panah beracun dari antara panah-panah iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada-Ku maka Aku ganti dengan keimanan yang dirasakan manis dalam hatinya". (HR. Hakim).

Jangan karena pandangan itu hati jadi tergoda kepada kesenangan duniawi, sebab segala bentuk kesenangan ataupun kenikmatan yang kita lihat gemerlapan di dunia ini adalah ujian bagi mereka yang menikmatinya, demikian Allah SWT telah berfirman ; Artinya : "Dan janganlah engkau tujukan penglihatanmu kepada yang Kami beri kesenangan dengannya berbagai golongan dari mereka berupa perhiasan kehidupan dunia, supaya Kami menguji mereka padanya, sedang rezeki Tuhanmu lebih baik dan kekal". (Thaahaa : 131)

Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menceritakan bahwa ada seseorang bertanya kepada Junaid : “Dengan jalan apakah aku dapat menolong diriku sendiri supaya dapat memejamkan mata?”. Junaid lalu menjawab : “Yaitu supaya engkau menginsafi bahwa pandangan Dzat yang melihat padamu itu lebih dulu penglihatan-Nya daripada pandanganmu pada sesuatu yang hendak kau lihat itu”.

Agar pandangan kita menghasilkan rasa syukur atas nikmat karunia Allah, maka hendaklah melihat kepada yang lebih rendah dari kita (dari segi kekayaan yang dimiliki), demikian Rasulullah SAW telah bersabda : “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian dan janganlah melihat hal yang lebih tinggi dari kalian, karena hal tersebut lebih mendorong kalian untuk tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan kepada kalian”. (HR. Ibnu Majah)

Dan Allah mengingatkan bahwa rasa syukur kepada-Nya akan mendapat tambahan nikmat pula sesuai firman-Nya ; Artinya : "Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memberitahukan, "Sungguh jika kamu bersyukur, niscaya Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkarinya, sungguh azab-Ku sangat keras". (Ibraahiim : 7)

Untuk menambah kedekatan diri kepada Allah, maka ingatlah akan mati dan mengingat apa yang ada dibalik kematian; pertanyaan dalam kubur, siksa kubur, hari hisab dan siksa neraka; maka nikmat dunia ini akan menjadi hambar dan upaya ini akan membawa kita pada maqam (tingkatan) orang yang zuhud. Syaikh Abdul Qadir Jailani memberi petuah kepada para muridnya : “Wahai pencari yang jauh dari rumah, wahai musafir yang tersesat di hutan belantara takdir! Engkau perlu membereskan kamar pribadimu. Jangan tinggalkan di dalamnya dirham maupun dinar, dan adapun barang-barang perhiasan, engkau memiliki cukup dengan kunci ada di kantungmu. Engkau perlu mengosongkan hatimu dari dunia ini, dari selera hawa nafsu dan perhatian yang remeh. Hendaknya hati hanya diisi dengan dzikir dan tafakur, dengan mengingat mati dan mengingat apa yang terjadi di balik kematian. Di dalamnya engkau harus mengamalkan alkemi (kimiya’) membatasi harapan. Engkau harus katakan, “Aku sudah mati”, karena tindakan menjadi murni melalui pengurangan harapan (qashrul-amal). Jika engkau terlalu banyak berharap, maka engkau akan berupaya membuat kesan pada orang di sini, dan bersikap munafik terhadap orang itu di sana. Orang yang telah dapat membatasi harapan, maka dia terpisah dari segala sesuatu, terputus hubungan dengan segalanya. Dia mengenakan pakaian kezuhudan, kemudian pakaian peniadaan (fana’), lalu pakaian pengalaman hakiki (ma’rifah)”. (Malfuzhat Syaikh Abdul Qadir Jailani)

Sikap zuhud yang diajarkan dalam Islam bukanlah dengan menolak sama sekali kenikmatan dunia itu, tetapi hendaklah memilikinya sesuai kebutuhan atau dengan cara tidak berlebih-lebihan. Dengan demikian zuhud adalah kebalikan dari tamak, rakus dan serakah. Penyakit tamak, rakus, serakah inilah yang mendorong seseorang itu menjadi koruptor.

Imam Al Ghazali menyatakan bahwa zuhud adalah menghindarkan diri dari segala keinginan jiwa yang tidak patut apalagi terlarang dan beralih kepada sesuatu yang lebih baik dan lebih utama, karena menyadari bahwa yang harus ditinggalkan tadi adalah suatu yang hina dan tercela sedang yang dipakai adalah yang mulia dan terpuji.

Dalam Al Qur’an disebutkan ada tujuh macam benda-benda dunia yang perlu dizuhudi, sesuai firman-Nya ; Artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga)". (Aali 'Imraan : 14)

Kemudian di dalam Al Qur’an juga disebutkan bahwa barangsiapa yang dapat mengekang nafsunya dari keinginan yang hina maka surga adalah tempatnya.
Firman Allah SWT ; Artinya : “Dan ada pun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga itulah tempat tinggal (nya)”. (Surah Nazi’at 40-41)

Sekiranya kita umat Islam ini dapat melaksanakan ajaran Islam dengan benar dan murni sesuai dengan Al Qur’an dan Hadist, maka pasti tidak akan tersesat jalannya dan kita pun tidak akan pernah mendengar ada seorang koruptor yang Muslim.

Hasbiyallaahu laa ilaaha illaa huwa 'alaihi tawakkaltu wa huwa rabbul 'arsyil 'azhiim - "Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'arasy yang agung". (At Taubah : 129);

Jadikanlah ayat tersebut merupakan bacaan wirid pada tiap pagi dan sore apabila mendapat kesulitan dalam urusan dunia maupun akhirat, karena Rasulullah SAW telah berpesan demikian : "Barangsiapa berkata setiap hari ketika memasuki waktu pagi dan ketika memasuki waktu sore : Hasbiyallaahu laa ilaaha illaa huwa 'alaihi tawakkaltu wa huwa rabbul 'arsyil 'azhiim - 7 kali, Allah akan mencukupinya dalam hal-hal yang menyulitkannya, berupa urusan dunia dan akhirat". (HR. Abu Dawud, Ibnu Asakir dan Ibnu Suni)

Waladzikrullahi Akbar.

Jum'at, 27 Rabiul Awal 1418 H - 1 Agustus 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar