Sabtu, 10 Juli 2010

AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR - Berdasar Al Qur’an

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur’an, Allah SWT berfirman: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An Nahl : 125)

Hari Kamis - Jum’at pekan lalu tgl. 23-24 September, kembali lagi telah terulang demonstrasi yang diikuti oleh tewasnya beberapa orang baik dari petugas keamanan, mahasiswa dan dari masyarakat. Hal ini berawal dari protes mahasiswa terhadap DPR yang sedang membahas RUU-PKB (Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya). Ada orang-orang yang tidak setuju dengan RUU-PKB tersebut karena dianggap dapat membuat pemerintah/penguasa dan militer akan berbuat semaunya dengan UU-PKB apabila telah disetujui.

Sekelompok mahasiswa yang tidak setuju pada RUU tersebut bergerak menuju ke gedung DPR/MPR, akan tetapi dihadang oleh polisi dan petugas keamanan. Kelompok mahasiswa tersebut dianggap telah melanggar undang-undang tentang cara menyatakan pendapat (demonstrasi), karena mereka tidak memberitahukan sebelumnya kepada pihak polisi tentang rencana akan berdemonstrasi. Seperti yang telah kita saksikan di media tivi akhirnya terjadi kerusuhan.

Melihat hal ini kemudian Pemerintah memutuskan menunda diberlakukannya undang-undang tersebut untuk menghindari kerusuhan lebih luas dan lebih besar lagi serta sambil memberi kesempatan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk memahami RUU-PKB tersebut.

Berdemonstrasi dalam rangka menegakkan keadilan atau melawan kezhaliman dapat dikatakan termasuk pada upaya menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Tetapi yang dilakukan sekelompok orang dan mahasiswa itu mungkin adalah keliru. Keliru caranya karena menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, serta membuat kerusuhan dan tentu saja membangkitkan kemarahan tidak hanya bagi petugas polisi keamanan atau pemerintah dan juga anggota DPR yang membahas RUU tersebut, tetapi juga menimbulkan ketakutan pada diri masyarakat banyak. Khawatir bila akan terjadi lagi kerusuhan besar seperti yang pernah terjadi di bulan Mei 1998 pada tahun lalu.

Menyeru Cara Islam

Islam adalah agama yang “rahmatan lil alamin”, menjadi rahmat bagi alam; ajaran agama yang tidak merusak, sehingga Islam mengajarkan pula kepada umatnya agar menyerukan amar ma’ruf nahi mungkar, agar memberi nasehat atau berdakwah dengan cara-cara yang baik.

Seperti dinyatakan dalam Al Qur’an : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An Nahl : 125)

Dari ayat di atas jelas bahwa konsep ajaran Islam dalam membersihkan sesuatu yang kotor tidak dapat dengan yang (cara) kotor karena tetap saja akan kotor. Kalau bersuci harus dengan air yang suci, yaitu yang suci dan lagi menyucikan, karena ada air yang suci tetapi tidak menyucikan, seperti air teh atau kopi yang tidak dapat untuk bersuci (wudhu). Kalau beramal shaleh seperti bersedekah atau zakat hendaklah dari harta yang baik (halal) agar mendapat nilai (pahala) baik.

Demikian juga menegakkan keadilan harus secara adil dan menyeru kepada yang baik harus dengan cara baik. Kita tidak dapat menyuruh seseorang untuk berbuat baik dengan cara yang tidak baik, cara yang kasar, karena hal itu merupakan perbuatan yang saling bertentangan dan juga bertentangan dengan ajaran Islam.

Dari ayat di atas dapat dilihat pula bahwa tingkatan atau tahap-tahap dalam menyeru itu adalah sbb :

1. Dengan Hikmah

Pengertiannya menurut bahasa, kata hikmah, hakama berasal dari huruf-huruf yaitu ha’, kaf dan mim yang maknanya mencegah. Bila ditakwilkan ke masalah hukum artinya mencegah dari kezhaliman. Oleh karena itu adanya hakim adalah untuk mencegah orang berbuat zhalim, ketidak adilan, berbuat tidak pada tempatnya.

Pengertian al-hikmah dalam Al Qur’an dan hadits sangat kaya, beragam dan lebih dari dua puluh makna, dimana disimpulkan oleh Mujahid dan Malik seperti disebut dalam kitab At-Tafsirul Qayyim (Ibnul-Qayyim), adalah sbb : “Hikmah adalah pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, ketepatan dalam perkataan dan pengamalannya. Hal ini tidak bisa dicapai kecuali dengan memahami Al Qur’an, mendalami syariat-syariat Islam serta hakikat iman.”

Secara terminologis definisi hikmah adalah : “Meletakkan sesuatu pada tempat yang semestinya.”

Berdasar pengertian di atas maka seseorang yang menyeru itu hendaklah dalam kerangka meletakkan sesuatu pada tempat semestinya dengan berdasar Al Qur’an dan As Sunnah.

Menyeru dengan hikmah adalah langkah pertama dalam beramar ma’ruf nahi mungkar, karena ada orang yang mengetahui kebenaran dan kebenaran itu jelas baginya sehingga amat mudah baginya untuk mengikutinya dan mengamalkannya. Di sinilah berdakwah dengan cara hikmah, memberi peringatan dan mengingatkan dengan dasar Al Qur’an dan As Sunnah.

Sebagai contoh adalah dalam menyerukan bahwa Al Qur’an berasal dari wahyu Allah. Bagi orang yang mendapat hidayah, dan mengetahui kebenaran secara jelas maka seruan itu akan mudah dicerna, diterima dan lalu diamalkan olehnya. Tanpa ada keraguan, tanpa perlu ancaman bahwa orang yang tidak percaya akan celaka, maka mereka sudah memahami.

Dalam Al Qur’an disebutkan : “Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,” (Al Baqarah : 2)

Dalam surah lain disebutkan pula : “Katakanlah : "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.” (Al Israa’ : 107)

Tetapi ada orang yang sulit menerima, sehingga bila tahap ini tidak dapat digunakan atau tidak berhasil maka tahap berikutnya adalah dengan memberikan pelajaran yang baik.

2. Pelajaran Yang Baik

Manusia, seorang hamba pada dasarnya mempunyai nafsu dan sikap menentang. Ia membutuhkan rasa takut yang mencegah dirinya dari nafsu. Disini diperlukan dakwah dengan cara memberi pelajaran yang baik. Dalam contoh di atas yaitu menyeru bahwa Al Qur’an adalah wahyu dari Allah, maka dapat digunakan berita buruk bagi yang tidak percaya dan berita baik bagi orang yang percaya.

Allah SWT berfirman : “Katakanlah: "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu kebenaran (Al Qur'an) dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu". (Yunus : 108)

Bila dengan memberi pelajaran yang baik itu tidak efisien, ancaman yang disampaikan tidak mempan maka penyeru dapat melakukan dialog, debat diskusi, bertukar pikiran secara baik untuk menunjukkan kebenaran.

3. Diskusi Yang Baik

Secara baik yaitu tidak secara kasar, tidak dusta, tidak asal omong. Diskusi atau debat yang baik itu secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan atau dapat dibuktikan kebenarannya.

Dari contoh dalam menyeru bahwa Al Qur’an berasal dari wahyu Allah dan bukan buatan manusia (Muhammad), maka penyeru (da’i) dapat memberi bukti secara ilmiah bahwa pernyataan itu benar. Misal dengan menantang orang-orang untuk membuat yang sama seperti itu. Sesuai pernyataan dalam Al Qur’an : “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (Al Baqarah : 23)

Pada ayat lain dikatakan pula : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An Nisaa’ : 82)

Bila debat yang baik tidak memberi manfaat, maka debat tidak harus dilakukan dengan cara yang paling baik, tetapi hal ini hanya dilakukan terhadap orang-orang yang zhalim. Sesuai firman Allah SWT : “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". (Al ‘Ankabuut : 46)

Demikianlah, semoga bermanfa’at.

Waladzikrullahi Akbar.

Jum’at, 21 Jumadil Tsaniah 1420 H - 1 Oktober 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar