Sabtu, 03 Juli 2010

NARKOBA & Upaya Melatih Anak Sejak Dini Dalam Menghindari

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Akhir-akhir ini di Jakarta banyak terpasang spanduk yang isinya menyatakan bahwa masyarakat atau penduduk setempat anti terhadap narkoba dan siap untuk memeranginya. Bahkan beberapa kelompok masyarakat sudah membentuk LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang membantu masyarakat dalam mendapatkan informasi tentang bahaya narkoba dan cara menggulanginya serta bahkan siap perang terhadap para pengedarnya. LSM-LSM tersebut memiliki nama-nama singkatan yang “seram” seperti GERAM = Gerakan Anti Madat atau GRANAT = Gerakan Anti Narkotik, yang semuanya mencerminkan gejolak kebencian hati mereka terhadap narkoba. Beraneka ragam alasan mereka membentuk LSM anti narkoba tersebut. Ada yang karena sanak keluarga sudah menjadi korban, sehingga dia ingin jangan ada lagi korban lain dan adapula karena menyadari betapa besarnya bahaya narkoba tersebut bila didiamkan saja.

Titik Mengkhawatirkan
Memang, peredaran dan pemakaian narkoba di negara kita ini sudah mencapai titik mengkhawatirkan. Apalagi negara kita merupakan tempat lintasan yang strategis bagi peredaran dan perdagangan narkoba internasional. Menjadi jalur lintas Asia – Australia dan bahkan sampai ke Afrika – Eropa. Sering kita lihat berita-berita di media tentang tertangkapnya pengedar narkoba berikut barang dagangannya dalam bentuk seperti bubuk heroin, pil ekstasi, shabu-shabu atau daun ganja dalam jumlah besar. Yang tertangkap itupun dari berbagai bangsa, seperti dari Afrika, Eropa, China dan bangsa kita sendiri. Sayangnya yang tertangkap, hanya kurir saja bukan bandar atau bosnya. Bahkan di negara kita, terjadi kasus pagar makan tanaman, seharusnya petugas yang menjaga, tetapi justru si petugas itu ikut menjadi pelindung sindikat pengedar, menjadi pengedar dan pemakai narkoba. Dan yang menyedihkan lagi, ibu-ibu pun turut menjadi pengedarnya.

Seperti tidak habisnya dan tidak jera-jeranya; hari ini sudah tertangkap satu tetapi besoknya masih muncul yang lain dalam jumlah berlipat. Jumlah pemakainyapun diperkirakan meningkat tajam seiring dengan meningkatnya “serangan” para pengedar tersebut. Kalau di awal munculnya pil ekstasi, para penggunanya disinyalir adalah beberapa pengusaha muda dan artis, maka sekarang ini sudah masuk ke anak-anak usia sekolah. Bahkan ada yang dijual dalam kemasan seperti permen dengan sasaran jual adalah anak-anak SD dan lebih kejam lagi anak TK. Kalau selama ini sasarannya adalah kaum muda di kota-kota besar dengan lokasi di tempat-tempat hiburan seperti diskotik maka sekarang tidak ada lagi daerah di tingkat dua yang aman dari serbuan narkoba. Bahkan di Jawa Timur beberapa pesantren diberitakan sudah dimasuki oleh pil-pil syetan tersebut.

Hukuman Mati
Rasanya perang terhadap narkoba ini sudah tidak dapat hanya dalam bentuk slogan-slogan saja. Sudah saatnya harus ada perangkat hukum seperti undang-undang yang memberi sanksi hukuman mati bagi pengedarnya (seperti yang dilakukan oleh negara tetangga Malaysia). Penegakkan hukum itu harus berlaku bagi semua orang secara adil tanpa pandang bulu sehingga dengan demikian diharapkan para pengedar dan para pemakai narkoba akan jera dan merasa takut. Hukuman mati terutama di negara-negara Barat (yang menyatakan diri mereka pembela HAM) sudah lama dihapuskan. Tetapi dengan dihapuskannya hukuman mati itu berbagai kejahatan dan kemaksiatan merajalela.

Memang, hukuman mati itu kelihatan kejam dan dianggap bertentangan dengan HAM dan tidak berperikemanusiaan serta dianggap merupakan produk hukum yang sudah tidak sesuai dengan zaman. Tetapi kalau ditinjau secara kritis dan realistis dengan melihat manfaat atau efek dari hukuman mati itu dalam rangka menyelamatkan sekian ratus juta anak bangsa dari korban ganasnya narkoba dan berarti juga menyelamatkan bangsa ini dari jurang kehancuran, maka memberi hukuman mati terhadap satu dan dua orang karena kesalahannya ataupun karena perbuatannya yang merugikan orang banyak adalah tidak memiliki arti apa-apa. Di samping itu sebenarnya mana atau siapakah yang lebih kejam; mereka dengan perbuatannya yang dapat menghancurkan masa depan anak-anak dan bangsa atau upaya penegakkan hukum dalam rangka penyelamatan bangsa dari jurang kehancuran?

Generasi Penerus Bangsa
Anak-anak adalah generasi penerus bangsa yang kelak pada masanya, sa’at dewasa, maka di pundaknya nasib suatu bangsa dipertaruhkan. Mereka dengan tugasnya masing-masing sesuai kemampuan, sesuai sumbangan tenaganya, pikiran atau hartanya adalah manusia-manusia yang pada saatnya kelak akan menentukan maju mundurnya bangsa. Kalau sejak usia dini mereka tidak mendapat perhatian, tidak memperoleh pemeliharaan kesehatan, tidak mendapat makanan minuman yang baik dan halal serta pendidikan yang baik (akhlak dan ketrampilan) maka pada suatu saat kelak pada bangsa kita ini akan terjadi lost generation (generasi yang hilang) dan kehidupan negara dan bangsapun akan hancur.

Tugas Orang Tua
Anak adalah amanah bagi orang tua, sehingga tugas orang tua (terutama ayah) untuk memenuhi semua hak anak yang menjadi tanggungannya. Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi SAW telah bersabda : “Di antara hak anak terhadap ayahnya adalah (agar si ayah) mengajarkan akhlak yang baik dan memberinya nama yang baik.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)

Jiwa seorang anak masih suci, putih bersih ibarat kertas yang belum ditulisi, bagaikan batu permata yang masih bongkahan belum diasah dan belum diukir serta diberi bentuk. Karena itu dia dengan mudah saja menerima segala macam rekayasa yang ditujukan kepadanya dan memiliki kecenderungan yang dibiasakan kepadanya. Orang tua lah yang bertanggungjawab pada “bentuk” anaknya tersebut. Dalam hadits disebut-kan : “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nashrani maupun Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika orang tua atau wali yang bertanggung jawab membiasakan kepada anaknya agar berbuat kebaikan dan memberinya pengajaran yang baik, maka ia akan tumbuh dewasa dalam keadaan yang baik dan bahagia dalam kehidupannya di dunia mapun di akhirat. Dan kedua orangtuanya, guru serta para pendidiknya pun ikut pula menerima pahala yang disediakan baginya. Tetapi, jika dibiasakan kepadanya perbuatan yang buruk atau ditelantarkan seperti halnya hewan yang berkeliaran tidak menentu, niscaya ia akan sengsara dan binasa. Dosanya akan dipikul juga oleh kedua orangtuanya, walinya atau siapa saja yang bertanggung jawab atas pendidikannya. Allah SWT telah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…….” (At Tahriim : 6)

Imam Ghazali menyatakan yang dimaksud dengan “memelihara” ialah mendidiknya, mengajarinya dan menumbuhkan akhlak yang mulia pada dirinya, menjauhkannya dari teman-teman yang buruk perilaku serta tidak membiasakannya hidup bersenang-senang, tidak pula membuatnya terbiasa kepada perhiasan dan kemewahan sehingga ia akan menghabiskan usianya dalam mengejar cara hidup seperti itu yang tentu akan mengakibatkan kesengsaraan dan kehancurannya selama-lamanya. Dan jika pendidikan yang baik akan mampu memeliharanya dari “neraka” dunia tentunya ia lebih patut lagi memeliharanya dari neraka akhirat.

Untuk itu seharusnya ia diawasi dan dipelihara sejak awal usianya (sejak dini sekali), antara lain dengan cara :

Pertama, ayah memilih istri (calon ibu anaknya) yang shalihah, kuat dalam melaksanakan ajaran agama dan tidak makan kecuali yang halal saja. Sebab air susu yang diperoleh dari sesuatu yang haram sama sekali tidak ada berkahnya. Dan jika hal itu menjadi makanan seorang bayi maka jiwa raganya akan terbentuk oleh “adonan” yang buruk dan karena itu dalam pertumbuhannya setelah itu ia akan cenderung kepada segala sesuatu yang buruk pula.

Kedua, selanjutnya bila ayah telah melihat tanda-tanda tamyiz (perkembangan awal daya pikir) pada diri anak, hendaknya ia berlaku bijak dalam mengawasinya. Tanda pertama berkaitan dengan itu adalah munculnya rasa malu, yang menimbulkan perilaku sopan santun serta enggan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang dianggapnya kurang layak baginya. Terjadinya hal itu tak lain adalah disebabkan terbitnya cahaya akal dalam jiwanya sehingga ia dapat membedakan antara yang buruk dan yang baik. Oleh sebab itu seorang anak yang telah memiliki rasa malu hendaklah diperhatikan baik-baik dengan menjadikan rasa malunya serta kemampuan tamyiznya itu sebagai dasar pendidikannya.

Ketiga, kelanjutan dari tahap kedua di atas ialah mengajarinya etika, akhlak dan agama misalnya tentang etika makan dan minum; termasuk pula mengajarkan kepada si anak perihal makanan - minuman yang halal dan haram; serta memberi penerangan tentang bahaya atau akibat bila melanggarnya.

Demikianlah, semoga bermanfa’at. Waladzikrullahi Akbar.

Jum'at, 18 Sya'ban 1420 - 26 November 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar