Minggu, 11 Juli 2010

BERWASIAT - Dalam Ajaran Islam

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur’an, Allah SWT berfirman ; Artinya: "Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara ma`ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa." (Al Baqarah : 180)

Sering sebuah keluarga menjadi pecah karena isi surat wasiat yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Mereka yang tidak puas merasa di anak tirikan. Merasa bahwa wasiat itu dibuat dengan tidak adil. Saling curiga timbul. Lalu ada yang menuduh bahwa pasti si fulan telah membujuk rayu, menghasut atau bahkan memaksa untuk mendapat sejumlah besar harta dari saudaranya seperti yang tercantum dalam wasiat. Kisah seperti ini sering dijadikan bahan cerita film atau sinetron oleh para pembuat film.

Mengapa bisa terjadi dan bagaimana sikap kita sebagai orang Muslim agar tragedi seperti itu tidak menimpa keluarga kita dan bagaimana cara melakukannya?
Agar tidak tersesat maka untuk itu kita akan mengkajinya berdasarkan Al Qur’an dan Hadits, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah SAW : “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah Al Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW” (HR. Muslim).

Pengertian Wasiat

Di dalam Fathul Mu’in disebutkan bahwa kata wasiat menurut bahasa artinya “menyambungkan”, berasal dari kata washasy syai-a bikadzaa yang artinya “dia menyambungkannya”. Dikatakan demikian karena seorang yang berwasiat berarti menyambungkan kebaikan dunianya dengan kebaikan akhiratnya.

Arti menurut syara’ ialah mendermakan sesuatu hak yang pelaksanaannya dikaitkan sesudah orang yang bersangkutan meninggal dunia.

Hukum Wasiat

Bagaimana hukum wasiat? Apakah seseorang berdosa apabila dia tidak berwasiat dan kemudian dia meninggal dunia sebelum berwasiat?

Berdasarkan kesepakatan ijma’ para ulama maka hukum wasiat adalah sunat muakkad.

Tetapi akan jauh lebih utama apabila harta itu disedekahkan sewaktu orang yang bersangkutan dalam keadaan sehat, lalu dia sakit, sehingga tidak ada penyesalan kelak di sa’at akhir. Sesuai firman Allah SWT : “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?" (Al Munaafiquun : 10)

Mengapa jauh lebih utama memberi sedekah ketika sehat, dibandingkan dengan waktu lain?
Bila waktu sehat berarti orang itu mempunyai iman yang tinggi dan sadar akan kewajibannya terhadap sebahagian harta yang merupakan milik orang lain yang dititipkan Allah kedalam hartanya itu. Padahal dia sedang suka (loba) pada harta itu, tetapi dia ikhlas dalam beragama, ikhlas dalam bersedekah, ikhlas dalam mencari ridha Allah SWT.

Dalam hadits riwayat Abu Hurairah ra. ia berkata: Seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw. lalu berkata: Wahai Rasulullah, sedekah manakah yang paling agung? Rasulullah saw. bersabda: “Engkau bersedekah ketika engkau masih dalam keadaan sehat lagi loba (masih sangat membutuhkan), engkau khawatir fakir dan sangat ingin menjadi kaya. Jangan engkau tunda-tunda hingga nyawa sudah sampai di kerongkongan, baru engkau berpesan: Berikan kepada si Fulan sekian dan untuk si Fulan sekian. Ingatlah! Memang pemberian itu hak si Fulan”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam Al Qur’an, Allah SWT menjanjikan pahala yang banyak bagi mereka yang bersedekah : “Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat gandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (Al Hadiid : 18)

Bila sedang dalam keadaan sakit berarti dia bersedekah karena takut pada siksa Allah. Taraf iman yang belum tinggi. Beribadah karena takut bukan karena mencari ridha Allah. Takut. Sebab bila mati ketika sakit itu, sedang dia belum beramal shaleh, belum bersedekah maka dia takut Allah akan mengazabnya. Takut. Sebab tidak mungkin dikembalikan lagi ke dunia untuk memperbaiki diri.

Dalam Al Qur’an dikatakan : “Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): "Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin". (As Sajdah : 12)

Bila sedekah dikeluarkan sesudah mati, berarti yang bersedekah adalah warisnya dengan mengatas namakan diri yang telah meninggal.

Bagaimana jadinya bila orang itu memang bakhil, pelit dan tidak mau bersedekah saat dia hidup? Bagaimana pula bila harta yang ditinggalkan itu tidak disedekahkan atas namanya, tetapi atas nama mereka yang masih hidup? Akan lebih buruk lagi apabila harta itu menjadi rebutan para ahli warisnya yang biasanya selalu berakhir dengan perpecahan hubungan keluarga. Celakalah dia.

Firman Allah SWT : “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Ali Imraan : 180)

Karena tidak seorangpun yang tahu kapan maut akan datang menjemput maka dianjurkan agar jangan melupakan wasiat barang sesaatpun (jika seseorang menghendakinya), seperti yang dijelaskan dalam hadits shahih riwayat Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidak baik bagi seorang muslim apabila ia memiliki sesuatu yang ingin diwasiatkannya sampai menginap dua malam, kecuali jika wasiatnya itu tertulis di sisinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mewasiatkan Lebih Dari Sepertiga Harta

Hukumnya makruh mewasiatkan sesuatu lebih dari sepertiga seluruh harta jika orang yang bersangkutan tidak bermaksud menghalang-halangi ahli warisnya. Tetapi jika dengan wasiat lebih dari sepertiga itu dia bermaksud menghalang-halangi bagian ahli warisnya, maka hukumnya haram. Mengapa?

Islam mengajarkan agar seseorang itu hendaklah meninggalkan anak-anaknya (ahli waris) dalam keadaan tidak lemah. Dalam satu hadits riwayat Sa`ad bin Abi Waqqash ra. ia berkata: Pada waktu haji wada`, Rasulullah saw. menjengukku ketika aku sakit yang hampir menyebabkan kematianku. Waktu itu aku berkata: Wahai Rasulullah, keadaan saya demikian parah sebagaimana engkau lihat, sedangkan saya adalah hartawan dan hanya ada seorang anak perempuan yang akan mewarisi saya. Apakah saya boleh mensedekahkan dua pertiga harta saya? Beliau bersabda: Tidak boleh. Aku bertanya lagi: Kalau seperdua? Beliau bersabda: “Tidak boleh. Sepertiga saja. Dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan papa dan meminta-minta kepada orang lain. Kamu tidak menafkahkan suatu nafkah dengan tujuan mencari keridhaan Allah, melainkan kamu mendapat pahala lantaran nafkahmu itu, sampaipun sesuap makanan yang kamu masukkan ke mulut istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Wasiat Yang Sah dan Tidak Sah

Sebuah wasiat dikatakan sah bila dilakukan oleh seorang mukallaf yang merdeka; dan atas kehendak sendiri ketika berwasiat untuk itu. Tidak sah wasiat yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila dan tidak sah pula bila dilakukan oleh orang yang dipaksa.

Untuk menghindari kejadian yang buruk di kemudian hari maka akan lebih baik bila pembuatan wasiat itu disaksikan oleh dua orang yang adil. Boleh saja menggunakan tenaga notaris atau pengacara, yang penting mereka adalah orang-orang yang adil. (Lihat Al Maaidah : 106)

Seperti halnya mengeluarkan harta pada jalan yang halal maka untuk kebaikan si pemberi wasiat hendak-lah wasiat tersebut ditujukan untuk tujuan yang halal, misalnya untuk pembangunan masjid dan perawat-annya atau untuk biaya hidup anak-anak yatim.

Demikianlah, semoga bermanfa’at.

Waladzikrullahi Akbar.

Jum’at, 21 Muharam 1420 H - 7 May 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar