Jumat, 09 Juli 2010

PENDIDIKAN - Bagi Umat Islam Indonesia

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur'an, Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At Tahrim : 6)

Dalam agenda pendidikan nasional negara kita, tgl. 2 Mei merupakan HARDIKNAS (Hari Pendidikan Nasional), sebagai penghormatan kepada salah seorang tokoh pendidik dan pendiri sekolah Taman Siswa yang namanya dikenal dengan Ki Hajar Dewantara. Tanggal 2 Mei tersebut sebenarnya bukanlah sa’at Dewantara menancapkan tiang sekolah Taman Siswa, tetapi merupakan hari lahir dari Raden Mas Suwardi Suryaningrat (nama asli dari Ki Hajar).

Berdasarkan catatan sejarah, Ki Hajar pada masa mudanya sangat aktif di bidang jurnalistik dan politik dimana ikut sebagai pengurus Budi Utomo, Sarekat Islam serta pendiri Indische Partij bersama Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo (Mereka bertiga disebut 3 serangkai). Karena tulisannya menyerang Pemerintah Hindia Belanda, maka pada thn 1913 mereka dibuang ke Negeri Belanda. Masa pembuangan ini tidaklah menyurutkan perjuangan politik mereka, dimana Ki Hajar tetap saja menulis di berbagai surat kabar Belanda sambil meneruskan sekolahnya dibidang pendidikan sehingga pada thn 1916 memperoleh ijazah guru Middelbare Acte.

Pada thn 1919 kembali ke tanah air dan aktif sebagai pengurus Nationaal Indische Partij dan mengasuh penerbitan pers De Express, De Beweging. Pada thn 1921 terjun sepenuhnya di dunia pendidikan sebagai guru di sekolah yang didirikan oleh kakaknya, R.M. Suryopranoto. Pada thn 1922, mendirikan sekolah sendiri yang sampai kini dikenal dengan Taman Siswa.

Pada waktu penjajahan Jepang pada thn 1942, ditunjuk sebagai pimpinan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), bersama Bung Karno, Bung Hatta serta Kiyai Haji Mansyur dimana mereka dikenal sebagai 4 serangkai. Setelah dibubarkan pada thn 1944, Ki Hajar di angkat menjadi anggota Naimubu Bunkyokyoku Sanyo (= Kantor Urusan Pengajaran dan Pendidikan). Kemudian setelah Proklamasi Kemedekaan pada thn 1945 ikut mendirikan Komite Nasional Indonesia Pusat dan diangkat menjadi Menteri Pengajaran pada Kabinet yang pertama.

Pada thn 1946, Ki Hajar mengetuai Panitia Penyelidik Pengajaran yang dibentuk Pemerintah RI untuk menentukan garis-garis baru di bidang pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Pada tahun 1948 mengetuai Badan Penasehat Pembentukan Undang-Undang yang menetapkan dasar-dasar bagi pendidikan dan pengajaran. Dengan demikian sebagian terbesar cita-citanya tercermin dalam pendidikan dan pengajaran yang diselenggarakan Republik Indonesia dan dalam Undang-Undang No. 4/1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Atas jasa-jasanya tersebut tanggal kelahirannya ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Pendidikan Islam Indonesia

Konsep pendidikan yang dikembangkan Ki Hajar melalui Taman Siswa (pada awalnya adalah Taman Kanak-Kanak), yaitu mengakui hak anak atas kemerdekaan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan bakat dan pembawaannya. Sistem pendidikannya disebut among dengan prinsip-prinsip : tut wuri handayani (mengikuti anak dari belakang sambil membimbing); ing madya mangunkarsa (di tengah anak-anak berlaku aktif dan kreatif, membangun); ing ngarsa sung tulada (di depan menjadi pemimpin, teladan yang baik).

Prinsip pendidikan anak yang dikembangkan oleh Taman Siswa tersebut pada dasarnya tidaklah bertentangan dengan system pendidikan Islam. Kita tahu bahwa Ki Hajar muda beranjak dari keluarga Muslim dan bahkan menyempatkan diri aktif di organisasi keagamaan (pengurus Sarekat Islam). Di thn 1912, sepuluh tahun sebelum Taman Siswa didirikan di Yogyakarta, sebenarnya di kota tersebut telah ada organisasi yang juga memberi pendidikan, tetapi tidak berazas kebangsaan seperti Taman Siswa, melainkan berazas Islam yaitu Muhammadiyah.

Surah At Tahrim ayat 6 di atas, oleh Imam Ghazali ayat yang berbunyi : “peliharalah dirimu dan keluargamu” tersebut, ditafsirkan dengan memberi pendidikan. Mengenai hal ini Nabi SAW bersabda :

“Menuntut ilmu wajib atas tiap muslim (baik muslimin maupun muslimah).” (HR. Ibnu Majah)
“Ajarilah anak-anakmu dan keluargamu kebaikan dan didiklah mereka.” (HR. Abdur Razaq)

Dengan demikian menuntut ilmu adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan orang muslim.

Kalau kita melacak perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia maka terlihat bahwa pondasi atau dasar pendidikan bangsa Indonesia adalah pendidikan Islam yang dikembangkan di rumah, surau dan di masjid, karena menuntut ilmu wajib atas tiap orang muslim. Sistem pendidikan agama Islam yang dibina para ulama, kiyai dan ustadz sejak awal Islam di bumi Nusantara ini dan jauh sebelum orang Eropah datang, sampai sekarang masih ada, bahkan banyak yang tumbuh berkembang menjadi sekolah agama modern dengan nama pondok pesantren modern.

Di Arab Saudi dan negara Arab lain tidak ada istilah pesantren karena kata pesantren (pesantrian, santri) dari bahasa India yang menunjukkan tempat para santri untuk nyantri, mencari ilmu (Taman Siswa menyebut perguruan tempat siswa berguru). Ada tambahan kata pondok di depan pesantren, ini merupakan petunjuk bahwa para santri menempati pondok-pondok untuk tinggal dan menginap selama menuntut ilmu. Pada masa awalnya, pondok-pondok tersebut didirikan sendiri oleh para santri yang datang dari jauh karena Pak Kiyai tempat mereka belajar kekurangan tempat di rumah dan tidak menyediakan fasilitas tempat tinggal. Jadi mereka dengan seizin Pak Kiyai mendirikan sendiri pondok sederhana yang cukup untuk diri sendiri dekat surau, masjid atau rumah Pak Kiyai. Di sana mereka masak dan cuci pakaian sendiri, belajar mandiri untuk menempa diri lahir batin. Semakin banyak yang nyantri maka semakin banyak pula pondok yang berdiri.

Santri pada masa itu berguru pada banyak kiyai. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam rangka menuntut, menambah dan memperdalam ilmu serta tidak ada puasnya. Walaupun ada santri yang sudah berstatus kiyai dan mendirikan pesantren, tetapi tetap saja merasa ilmu belum cukup dan masih ingin belajar. Memang demikian ajaran Islam, bila ada seseorang disebut ulama dan kemudian merasa cukup dengan ilmu yang dimilikinya maka orang itu disebut jahiliyah (orang bodoh) karena sangat sedikit ilmu yang baru diketahui manusia, sesuai firman Allah SWT : “…dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al Israa’ : 85)

Jadi bagaimana pula dengan orang awam dalam ilmu agama akan tetapi tidak mau mempelajarinya? Sebutan apa lagi yang pantas diberikan kepada orang awam tersebut karena yang disebut ulama saja tetapi tidak mau menambah ilmunya karena merasa cukup, disebut orang jahiliyah?

Pesantren pada masa awal memang mengkhususkan diri pada pelajaran agama. Namun sekarang sesuai perkembangan zaman banyak pesantren menambah namanya dengan modern, dimana ini menunjukkan bahwa pesantren tersebut tidak hanya mengajarkan agama kepada santrinya, tetapi juga ilmu-ilmu lain seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah umum.

Persamaan Ijazah Pesantren

Walau demikian pondok pesantren modern tersebut oleh sebagian orang Islam sendiri masih dianggap belum dapat menjawab tantangan masa depan anak. Masih saja timbul anggapan bahwa menuntut ilmu di pesantren modern hanya akan menghasilkan ustadz, guru agama yang dari segi materi kurang beruntung. Bila melihat tamatan pondok pesantren dari masa dulu, anggapan tersebut memang ada benarnya karena ijazah pesantren tidak diakui Pemerintah, sehingga lulus dari pesantren anak-anak tidak dapat meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi negeri dan swasta yang bersifat non-agama. Masa reformasi ini ijazah pesantren sudah mendapat persamaan dengan ijazah sekolah lainnya, sehingga anak lulusan pesantren dapat masuk ke universitas untuk belajar ilmu-ilmu sosial, ekonomi, hukum, teknik dan kedokteran, dll.

Pelajaran agama di sekolah-sekolah umum memang diberikan sesuai kurikulum Pemerintah tetapi tidaklah sebanyak seperti di sekolah-sekolah khusus agama, sehingga orangtua yang sadar dan ingin anak-anaknya menjadi anak sholeh terpaksa harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mengaji, belajar agama di madrasah atau di sekolah diniyah. Bagaimana bila orangtua lalai memperhatikan dan memberikan pendidikan agama bagi anak-anaknya? Bersiap-siaplah menerima azab di dunia yaitu berupa anak-anak yang lemah keimanan dan ketaqwaannya sehingga tidak patuh, tidak hormat dan sayang kepada orangtua; serta siksa akhirat kelak seperti yang disebutkan dalam At Tahrim ayat 6 di atas. Naudzubillahi min dzalik.

Waladzikrullahi Akbar

Jum'at, 1 Shafar 1421 H - 5 Mei 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar