Sabtu, 03 Juli 2010

SHOLAT YANG DITERIMA

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Sebenarnya umat Islam ini adalah umat yang paling beruntung bila dibandingkan dengan umat lain yang sama-sama menganut agama samawi. Mengapa? Karena diberi kesempatan untuk bermunajat, berkomunikasi, memohon kepada Khalik, Yang Menciptakan; selama lima waktu dalam sehari semalam. Itupun minimal, karena maksimal terserah pada tiap individu seberapa dia mau dan mampu untuk melakukan pertemuan tambahan dalam bentuk sholat sunat. Tetapi anehnya manusia, sudah diberi kesempatan sedemikian banyak masih juga tidak mau memanfaatkan kesempatan itu. Padahal yang memberi kesempatan adalah Allah Rabbul Alamin, Pencipta alam jagat raya beserta seluruh isinya, sehingga Dia Yang Maha Memiliki dan Yang Maha Disembah, dengan demikian pula, Dia Yang Maha Kaya, yang artinya hanya kepada-Nya saja makhluk patut meminta ; “Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin - Hanya Engkau yang kami sembah dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan”. Apa saja. Dari hal yang sepele sampai apa lagi yang spektakular. Dalam suatu hadist, diriwayatkan Nabi SAW bersabda : “Hendaklah seseorang di antara kamu berdo’a minta kepada Tuhan apa saja yang dibutuhkan, meski minta tali pengikat sandal yang putus”. (HR. Attirmidzi)

Tambah aneh lagi yang namanya makhluk manusia ini, kalau yang memberi kesempatan untuk bertemu, untuk meminta adalah seorang pejabat atau petinggi negara, bukan main, pasti akan dimanfaatkan nya sebaik mungkin; memakai sandang pakaian terbaik; bila perlu beli jas stelan terbaru; kalau tidak mampu beli, pinjam sana pinjam sini; yang penting terlihat bonafide, gagah, keren, tidak memalukan. Masya Allah, padahal kalaupun dia menghadap Allah dalam sholatnya, kadang-kadang cuma pakai kaos kutang atau singlet saja. Terbalik, seharusnya pakaian terbaik digunakan ketika menghadap Allah, karena Nabi SAW telah bersabda : “Apabila seorang sholat hendaklah mengenakan pakaian rangkap. Sesungguhnya Allah lebih berhak (dihadapi) dengan keindahan pakaian”. (HR. Atthabrani)

Bagaimana amal sholat seperti ini bisa diterima di sisi Allah? Dalam suatu hadist Qudsi diriwayatkan bahwa Allah SWT telah berfirman : “Tidak semua orang yang sholat itu bersholat. Aku hanya menerima sholatnya orang yang merendahkan diri kepada keagungan-Ku, menahan syahwatnya dari perbuatan haram larangan-Ku dan tidak terus menerus bermaksiat terhadap-Ku, memberi makan kepada yang lapar dan mengasihi orang yang terkena musibah dan menampung orang asing. Semua itu dilakukan karena Aku”. (HR. Adailami)

Dari hadist tersebut dapat dilihat bahwa sholat yang diterima itu adalah sholatnya orang yang :
(1). Tawadhu.
Sikap ini bermula dari iman yang mantap, percaya kepada adanya Allah sebagai satu-satunya sumber dari segala yang ada di alam ini dan kepada sumber itu pula semua yang ada kelak akan kembali.

a) Dzikir dan Fikir.
Iman yang mantap akan melahirkan sikap bahwa dalam tiap situasi dan kondisi hatinya selalu mengingat dan mengagungkan kebesaran Allah (dzikrullah alla kulli hallin); dan dari sikap ini kemudian lahir sikap yang selalu memikirkan eksistensi (keberadaan) Allah SWT sesuai dengan Dzat dan Sifat-sifat-Nya yang baik di dalam asma ul husna. Jadi konsep dzikir dan fikir dalam Islam, tumbuh berkembang dari iman yang mantap; iman yang tidak ada keragu-raguan lagi di dalamnya. Orang yang dalam hatinya selalu ingat dan mengagungkan kebesaran Allah, maka otomatis orang tersebut memiliki sikap tawadhu’, merasa rendah di hadapan Allah. Karena merasa rendah maka dia akan berusaha sebaik mungkin dalam prosesi ritual amal ibadah sholatnya. Dia memperbaiki sikap ruhani dan jasmaninya agar proses sholat yang dilakukannya adalah sesempurna mungkin, seolah-olah adalah sholat yang terakhir dalam hidupnya.

Rasulullah SAW bersabda: "Sholat itu tidak lain adalah menunjukkan kemiskinan, kerendahhatian (tawadhu'), kerawanan kalbu (tadharru'), keluhan jiwa dan penyesalan mendalam, seraya meletakkan kedua tangan (bersujud) dan membisikkan: "Ya Allah, Ya Allah". Maka barangsiapa tidak melakukannya, sholatnya itu tidak sempurna". (HR. Tirmidzi dan Annasaa-i).

Orang yang bersikap tawadhu’, maka tidak ada kesombongan dalam dirinya sehingga dia tidak akan aniaya terhadap makhluk lain. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah menurunkan wahyu kepadaku, yaitu hendaklah kalian bersikap tawadhu’, sehingga tidak ada seorangpun bersikap sombong kepada yang lain, dan tidak ada seseorang menganiaya yang lain”. (HR. Muslim)

b) Khosyah.
Selalu mengingat dan mengagungkan kebesaran Allah, akan menumbuhkan sikap khosyah (takut) kepada Allah. Merasa takut apabila amal sholat tidak diterima, takut akan siksa neraka-Nya. Sikap ini menumbuhkan kehati-hatian dalam tiap tindakan; agar tetap terjaga, tidak terjerumus pada jalan yang salah. Rasulullah SAW bersabda : “Dua mata yang diharamkan dari api neraka, yaitu mata yang menangis karena takut (Khosyah) kepada Allah, dan mata yang menjaga serta mengawasi Islam dan umatnya dari (gangguan) kaum kafir”. (HR. Bukhari)

c) Roja’.
Selalu mengingat dan mengagungkan kebesaran Allah, maka akan melahirkan sikap roja’ (harap) terhadap Allah. Rasa iman atas keagungan dan keadilan Allah menumbuhkan sikap penuh harap atas ampunan-Nya dan penuh harap atas surga-Nya. Karena Allah adalah sumber dan tempat segala-galanya maka hanya Allah tempat bersyukur dan meminta. Sholat itu bagi mereka tidak cukup hanya yang fardhu lima waktu saja, tetapi akan dimanfa’atkan semua kesempatan untuk tetap dalam keadaan selalu sholat, hati yang selalu dzikir dan sujud kepada Allah SWT. Tanda-tanda orang ini dapat dilihat dari wajah dan sikap yang tenang memancarkan kedamaian dan kesejukan hati (qalbin salim). Tidak ada penyakit hati. Tidak ada keberingasan; tidak ada hasud, iri hati, dengki; tidak ada sombong, loba dan tamak serta tidak ada rasa ketakutan. Sholat mencegah mereka dari perbuatan yang keji dan mungkar, sesuai firman-Nya : “Sesungguhnya sholat mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar”. (Al ‘Ankabuut : 45)
Dalam Al Qur’an digambarkan pula tentang ciri-ciri orang ini: "Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka, dari bekas sujud". (Al Fath : 29). Bekas sujud di sini dapat diartikan yang tersirat, yaitu bahwa sujud (sholat) itu berbekas pada sikap perilakunya.

(2). Menahan syahwatnya.
Syahwat (libido) merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari diri manusia, karena dengannya manusia berkembang biak. Karena syahwat ini akan berkaitan dengan hubungan darah antara anak dengan orangtuanya. Karena manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang dimuliakan, maka untuk menjaga kemuliaan itu penyalurannya diatur dengan hukum Allah (Hukum Niqah). Tidak boleh seseorang itu menyalurkan syahwat ke sembarang tempat. Hubungan kekeluargaan bisa kacau, siapa anak dan siapa bapaknya? ; hubungan anak dengan ibu kacau, mana ibu mana istri tidak dapat dibedakan lagi. Persis seperti kehidupan liar makhluk hewan, yang ditayangkan di tv dalam acara National Geography.

Seseorang yang tidak menahan syahwatnya dengan kata lain dia salurkan pada tempat yang tidak semestinya (melakukan perzinaan) maka artinya samalah dia dengan hewan, bahkan lebih hina lagi dan dapat berbahaya karena dia adalah jenis hewan yang memiliki akal dan nafsu, dimana akal telah dikuasai oleh nafsunya. Seluruh kepandaian atau kemampuan akal akan digunakan hanya untuk memuaskan nafsunya. Kalau sudah begini, apalagi bila perilaku ini sudah melanda kemana-mana, maka bersiaplah dengan tibanya kehancuran.

Rasulullah SAW bersabda : “Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri maka mereka (penghuninya) sudah menghalalkan atas mereka sendiri siksaan Allah”. (HR. Atthabrani, Hakim)
Saat ini kita berada pada zaman seperti yang disebutkan Nabi SAW pada hadist tersebut di atas. Coba lihat penghalalan perzinaan melalui lokalisasi WTS yang hampir ada disetiap kota. Alasannya agar tidak beroperasi secara liar sehingga masyarakat terhindar dari penyakit. Apakah tidak ada cara lain? Lihat saja penyakit baru yang namanya AIDS dan HIV, dulu tidak dikenal; dari mana timbulnya?

Rasulullah SAW bersabda : “Bagaimana kamu apabila dilanda lima perkara. Kalau aku (Nabi SAW), aku berlindung kepada Allah agar tidak menimpa kamu atau kamu mengalaminya yaitu (1) Jika perbuatan mesum dalam suatu kaum sudah dilakukan terang-terangan maka akan timbul wabah dan penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa orang-orang terdahulu. (2) Jika suatu kaum menolak mengeluarkan zakat maka Allah akan menghentikan turunnya hujan. Kalau bukan karena binatang-binatang ternak tentu hujan tidak akan diturunkan sama sekali. (3) Jika suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan maka Allah akan menimpakan paceklik beberapa waktu, kesulitan pangan dan kezaliman penguasa. (4) Jika penguasa-penguasa mereka melaksanakan hukum yang bukan hukum Allah maka Allah akan menguasakan musuh-musuh mereka untuk memerintah dan merampas harta kekayaan mereka. (5) Jika mereka menyia-nyiakan Kitabullah dan sunnah Nabi maka Allah menjadikan permusuhan di antara mereka”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Bagaimana cara menahan (mengendalikan) syahwat dalam zaman ini, dimana penjajaan eksploitasi nafsu seks sudah masuk rumah begitu mudah melalui tayangan acara tv? Islam memberi solusi dengan resep ampuh bagi yang mau menggunakannya yaitu mantapkan terlebih dulu iman kepada Allah dan kemudian jaga mata, telinga dan anggota badan lainnya atau menikahlah. Bila tidak sanggup nikah maka berpuasalah; bukan sekedar puasa menahan haus dan lapar saja, tetapi puasa seluruh indra, antara lain caranya tidak menonton acara film atau tv yang pamer aurat dan merangsang syahwat.

Rasulullah SAW bersabda : “Tercatat atas anak Adam nasibnya dari perzinaan dan dia pasti mengalaminya. Kedua mata zinanya melihat, kedua telinga zinanya mendengar, lidah zinanya bicara, tangan zinanya memaksa (memegang dengan keras), kaki zinanya melangkah (berjalan) dan hati yang berhasrat dan berharap. Semua itu dibenarkan (direalisasikan) oleh kelamin atau digagalkannya”.(HR. Bukhari)

Rasulullah SAW juga bersabda: “Wahai segenap pemuda, barangsiapa yang mampu memikul beban keluarga hendaklah kawin. Sesungguhnya perkawinan itu lebih dapat meredam gejolak mata dan nafsu seksual, tapi barangsiapa yang belum mampu hendaklah dia berpuasa karena (puasa itu) benteng (penjagaan) baginya”. (HR. Bukhari)
Bagaimana dengan orang yang sudah menikah tetapi masih suka berbuat zina? Orang itu belum kuat imannya, buktinya dia melanggar larangan Allah. Bagaimana cara memperbaikinya? Perkuat terlebih dulu iman dan kemudian melalui proses dzikir dan fikir tumbuhkan rasa tawadhu’, khosyah dan raja’ terhadap Allah dalam diri. Bila ada keinginan terhadap wanita lain maka hendaklah mendatangi istri sendiri, maka itu lebih baik.

Rasulullah SAW bersabda : “Apabila seorang dari kamu tertarik melihat seorang perempuan dan terkesan dalam hatinya, maka hendaklah menggauli isterinya sendiri karena hal itu akan meredam gejolak dan gangguan dalam dirinya”. (HR. Muslim)

(3). Tidak bermaksiat kepada Allah.
Bermaksiat kepada Allah secara terus menerus, yaitu melanggar aturan dan hukum Allah dengan menghindar dari perintah-Nya dan mengerjakan larangan-Nya. Sesudah melakukan pelanggaran tersebut, dia tidak pernah menyatakan menyesal dan taubat. Apalagi yang namanya taubatan nasuha (taubat yang sebenar-benarnya).

Bagaimana caranya agar tidak bermaksiat kepada Allah? Sama dengan cara di atas yaitu lakukan terlebih dulu pemantapan iman, kemudian melalui proses dzikir dan fikir tanamkan rasa tawadhu’, khosyah dan raja’ terhadap-Nya. Seorang hamba Allah yang takut hanya kepada Khaliq-nya, maka dia tidak akan takut kepada makhluk-Nya.
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa takut kepada Allah, maka Allah menjadikan segala sesuatu takut kepadanya. Barangsiapa tidak takut kepada Allah, maka Allah menjadikannya takut kepada segala sesuatu”. (HR. Baihaqi)

(4). Memberi makan orang lapar
Salah satu tanda dari kesempurnaan iman seorang hamba Allah adalah memberi makan kepada orang yang lapar dengan niat ikhlas karena Allah. Apa hubungan antara iman dengan memberi makan kepada orang yang lapar?

Iman berarti percaya. Dari kata ini timbul kata amanah yang berarti dapat dipercaya atau mendapat kepercayaan. Bila seseorang sudah percaya pada seseorang lainnya, maka orang yang percaya itu akan membenarkan semua ucapan dari orang yang dipercayainya. Semakin tinggi tingkat kepercayaan nya maka akan semakin tidak ada lagi keraguan dari orang yang percaya itu, sehingga akhirnya orang itu akan melakukan apapun yang dikatakan atau diminta oleh orang yang dipercayainya. Demikian pula iman kepada Allah dan Rasul-Nya, kalau iman seseorang itu sangat mantap atau kuat, maka dia tidak akan ragu-ragu lagi untuk melaksanakan segala perintah.

Bagi orang yang yang telah menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan iman kepada yang lain (rukun iman yang enam), maka Allah memerintahkan hamba yang mukmin itu untuk memikul lima tugas yang harus dilaksanakan yaitu rukun Islam (syahadat, sholat dan puasa kemudian zakat serta ibadah haji). Minimal yang dilakukan adalah tiga yang pertama, karena yang dua akhir, zakat dan haji, hanya wajib bagi mereka orang yang kaya dan mampu. Kalau perintah itu sudah dilaksanakan maka dia sudah termasuk Muslim, orang Islam, orang yang berserah diri kepada Allah; karena percaya, dia pasrahkan diri.

Perintah puasa baik yang fardhu maupun sunnat mengandung hikmah bahwa perut yang lapar dalam puasa itu mengingatkan diri pada orang fakir yang lapar tidak karena puasa tetapi lapar karena tidak ada makanan. Puasa dapat menggerak kan hati untuk memberi sadaqah atau makanan kepada orang fakir. Rasulullah SAW bersabda : “Tiada beriman kepadaku orang yang bermalam dengan kenyang sementara tetangganya lapar padahal dia mengetahui hal itu”. (HR. Al Bazzaar)

(5). Mengasihi orang kena musibah
Musibah adalah peristiwa yang bersifat kematian atau kehilangan baik berupa jiwa maupun harta benda. Disebut musibah karena datangnya tidak terduga; walaupun sebenarnya peristiwa itu pasti akan terjadi. Misalnya, semua jiwa pasti akan mati, cuma tidak seorangpun yang tahu kapan akan terjadinya. Karena datangnya terasa tiba-tiba maka orang yang mendapat musibah tentu saja belum atau tidak ada persiapan untuk menghadapinya. Biasanya hal ini akan berakibat seolah-olah mereka itu mendapat tamparan yang keras. Apalagi kalau jiwa yang hilang itu adalah orang yang menjadi tumpuan hidup mereka sehari-hari, yang mencari nafkah bagi keluarga. Sedangkan kehilangan pekerjaan saja sudah sulit, apalagi sampai kehilangan keduanya sekaligus.

Islam mengajarkan agar kita orang mukmin itu memberikan bantuan kepada orang yang terkena musibah sebab jangan sampai musibah dalam hilangnya jiwa, harta benda atau pekerjaan itu membuatnya mendapat musibah pula dalam agama, kehilangan iman kepada Allah. Karena sering kita dengar ucapan dari orang yang terkena musibah itu yang kadang-kadang sambil marah, “Tuhan tidak adil, mengapa kami yang dapat musibah ini. Apa salah kami. Kenapa kami harus menderita?” dsbnya.
Rasulullah SAW bersabda : “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada seorang mukmin yang lemah dalam segala kebaikan. Peliharalah apa-apa yang menguntungkan kamu dan mohonlah pertolongan Allah, dan jangan lemah semangat (patah hati). Jika ditimpa suatu musibah janganlah berkata, “Oh andaikata aku tadinya melakukan itu tentu berakibat begini dan begitu”, tetapi katakanlah, “Ini takdir Allah dan apa yang dikehendaki Allah pasti dikerjakan-Nya”. Ketahuilah, sesungguhnya ucapan: “Andaikata” dan “jikalau” membuka peluang bagi karya setan”. (HR. Muslim)

Kalau kita menemui saudara kita orang mukmin seperti ini ingatkan dia agar istighfar dan bershabar serta mengucapkan kalimat tayibah Innalilahi wainna illaihi rajiuun. Dan hiburlah mereka dari kedukaan nya bahwa musibah itu hanya cobaan Allah untuk menguji iman, sesuai firman-Nya: “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan berkata, “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji?” (Al ‘Ankabuut : 2); “Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sungguh Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (Al ‘Ankabuut : 3)
Rasulullah SAW bersabda : “Besarnya pahala sesuai dengan besarnya ujian dan cobaan. Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla bila menyenangi suatu kaum, Allah menguji mereka. Barangsiapa bersabar maka baginya manfaat kesabarannya dan barangsiapa murka maka baginya murka Allah”. (HR. Attirmidzi)

(6). Menampung orang asing
Orang asing adalah orang yang sedang dalam perjalanan jauh dari rumah atau negerimya. Mereka disebut orang asing karena tidak ada sanak saudaranya di tempat yang dikunjunginya. Bila urusan mereka untuk datang ke suatu tempat itu berlarut-larut, tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat, sedangkan persiapan dana tidak cukup untuk membiayai kelebihan waktu itu maka dalam situasi dan kondisi seperti itu hendaklah kita memberi pertolongan kepada mereka (Terutama musafir dalam jalan Allah). Kalau tidak ditolong maka dikhawatirkan orang itu akan terlunta-lunta, lapar, tidur di emper toko dan bahkan dianiaya oleh orang jahat. Bagaimana pula kelak nasib keluarga yang menanti-nanti berita dan kedatangannya? Tanpa terjadi peristiwa itupun dia sudah menderita, yaitu derita karena terpisah dengan keluarga dan derita akibat perjalanan itu sendiri, yaitu berupa pengorbanan dalam bentuk uang (diluar biasanya) dan jasmani (kelelahan). Itulah sebabnya Nabi SAW bersabda : “Perjalanan adalah sebagian dari siksaan”. (HR. Bukhari)

Itu pula sebabnya para musafir ini mendapat keringanan (rukshah) dalam ibadah, misalnya tidak wajib ikut sholat Jum’at, menjama’ dan qoshor sholatnya, serta di bulan Ramadhan dibolehkan mengganti puasa pada bulan lain. Sekarang timbul pertanyaan, mengapa ada orang yang selalu terlihat rajin sholat lima waktu tetapi masih saja perilakunya tidak sesuai dengan hal-hal di atas? Berdasar hadist di atas, jelas sholatnya tidak diterima. Bahkan ada ulama mengatakan, orang itu belum sholat. Benar. Yang sholat baru jasmani (fisik) nya, sedangkan ruhani belum menyatu dengan jasmaninya dalam proses sholat. Ruhani masih melayang entah ke negeri mana.

Bagaimana cara memperbaikinya? Kuatkan dulu fondasi, yaitu aqidah, iman kepada Allah dan kemudian tumbuh kembangkan sikap tawadhu’, khosyah dan raja’ terhadap Allah dalam diri melalui proses dzikir dan fikir tentang Dzat dan Sifat-sifat-Nya yang ada dalam asma ul husna. Insya Allah, akan berhasil.

Waladzikrullahi Akbar.

Jum’at, 28 Safar 1418 H - 4 Juli 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar