Jumat, 09 Juli 2010

KEBEBASAN PERS - Dalam Jalan Islam

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur'an, Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu orang fasik dengan suatu berita, maka selidikilah agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, kemudian kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al Hu-juraat : 6).

Gelombang reformasi yang melanda kehidupan kita di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya (poleksosbud) pada akhir-akhir ini demikian besarnya. Rasanya tiap orang ikut ambil bagian, ikut berbicara dengan bebasnya di media apa saja (radio, tv, media cetak, mimbar bebas di kampus, bahkan saat khotbah jumat dsbnya) seolah tidak mau tertinggal, takut dikira anti pada reformasi.

Semua pro reformasi, tidak terkecuali yang walaupun dulunya adalah jelas termasuk pada kelompok orang yang punya andil besar dalam membuat undang-undang atau peraturan dan ikut ber K3N, dimana dengan kegiatan yang dilakukannya itu negara tercinta ini telah tertimpa segala macam krisis. Malah mereka yang bicaranya paling keras dalam aksi-aksi demonstrasi reformasi ataupun dalam mengkritik pemerintah, terutama mantan presiden ke 2.

Mereka dengan bebasnya berbicara mengeluarkan pendapat yang kadang-kadang disampaikan secara kasar dan tidak pantas dikeluarkan oleh seorang mantan pejabat (Muslim lagi) yang ditujukan kepada mantan atasannya. Padahal dulu mereka terdepan dalam kampanye Pemilu untuk memenangkan Golkar sebagai partai pemerintah dan terdepan pula mendukung Pak Harto untuk dipilih kembali menjadi presiden.

Tak dinyana 2 bulan saja setelah pelantikan presiden di MPR dan ketika aksi mahasiswa makin memuncak, mereka muncul di depan mahasiswa, ikut menyuarakan pro reformasi, anti kepemimpinan Pak Harto. Malah saat Pak Harto mundur diri, maka seolah-olah itu adalah karena jasa mereka; merekalah sang pahlawan reformasi. Itulah yang namanya dunia, pada setiap zaman pasti ada perjuangan dan pada setiap perjuangan pasti ada pahlawan yang kesiangan.

Perjuangan kaum reformis belum selesai walaupun Pak Harto sudah mundur, karena saat ini masih banyak tuntutan lain yang belum terlaksana, misalnya yang menjadi topik pembicaraan pada akhir-akhir ini, yaitu KEBEBASAN.

Kebebasan yang dituntut yaitu semua kegiatan (poleksosbud) yang selama ini dirasakan tidak sesuai dengan alam demokrasi, antara lain bebas K3N (Korupsi, Kolusi, Koncoisme, Nepotisme); bebas dari monopoli dagang; bebas dari UU Anti Subversi; pembebasan tapol/napol; bebas berserikat (berpartai); bebas bicara dan berpendapat; bebas dalam bidang pers (pers bebas); dll.

Kebebasan Dalam Islam.

Pada dasarnya ajaran Islam mendukung kebebasan bagi setiap manusia, karena :

1) Manusia diciptakan dari diri yang satu (Adam as), sehingga tidak diperkenankan penindasan oleh satu manusia kepada manusia lainnya. Bila ini terjadi berarti pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Justru seharusnya satu sama lain itu saling tolong dan menjaga hubungan keluarga, hubungan persaudaraan karena berasal dari diri yang satu. Firman Allah SWT : “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu dengan yang lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (An Nisaa’ : 1)

2) Di hadapan Allah semua manusia adalah sama, dimana salah satu tujuan penciptaan manusia oleh Allah SWT adalah agar manusia itu beribadah kepada Allah. Dengan demikian yang membedakan antara satu manusia dengan yang lainnya di hadapan Allah adalah ketaqwaan atau pengabdiannya kepada Allah. Firman Allah SWT : “Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka menyembah (mengabdi) kepada-Ku.” (Adz Dzaariyaat : 56)

Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak memandang postur tubuhmu (rupamu) dan tidak pula pada kedudukan maupun harta kekayaanmu, tetapi Allah memandang pada hatimu. Barangsiapa memiliki hati yang sholeh maka Allah menyukainya. Bani Adam yang paling dicintai Allah ialah yang paling bertaqwa.” (HR. Athabrani, Muslim)

Dari dalil-dalil di atas jelas bahwa Islam mendukung kebebasan, sehingga dengan demikian bagi kita umat Islam apabila menuntut kebebasan hendaklah kebebasan yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu sesuai Al Qur’an dan Al Hadits; bukan kebebasan ala Barat atau ala Amerika. Ini adalah suatu hal, suatu ideologi, pendirian yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Karena kalau tidak berpedoman pada Al Quran dan Hadits, maka kebebasan yang kita tuntut dan kerjakan adalah kebebasan pada jalan sesat. Rasulullah SAW bersabda : “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah (Al Quran) dan sunnah Rasulullah.” (HR. Muslim)

Kebebasan Pers.

Salah satu kebebasan yang dituntut terutama oleh para wartawan, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) adalah kebebasan pers, kebebasan dalam pemberitaan. Bebas memuat atau menyampaikan berita tulisan, gambar photo, film melalui media elektronik (radio, tv, internet) dan media cetak (buku, majalah, surat kabar, buletin) tanpa takut SIUPP dicabut (Salah satu tuntutan adalah peniadaan SIUPP).

Berita, melalui media apapun pada era informasi ini merupakan makan pagi, sarapan bagi tiap orang di rumah sampai di tempat kerja, di warung tegal sampai warung texas. Dari supir di darat sampai supir di udara, dari pegawai rendah sampai pegawai tinggi, dari rakyat sampai pejabat, dari pencari kerja sampai pemberi kerja. Berita apa saja, sesuai daya nalar mereka. Dari berita ringan sampai berita berat; dari berita politik, ekonomi regional sampai berita kriminal & sensasional; dari berita ekologi sampai astrologi; dari berita kabar burung sampai berita kabur si buyung ke luar negeri sambil bawa lari uang hasil K3N.

Kalau kebebasan pers yang dituntut itu adalah kebebasan tanpa batas-batas yang disepakati bersama dikhawatirkan kelak umat ini akan mendapatkan makanan (berupa berita, informasi) yang terlihat enak menggiurkan tapi ternyata beracun, merusak, menghancurkan dan mematikan. Contoh, penjarahan pada 17 May yang disiarkan oleh media tv, dimana terlihat para penjarah itu melakukannya dengan cara terang-terangan, sukaria, baik anak kecil maupun dewasa tanpa ada satuan petugas keamanan yang bertindak (padahal ditunjukkan saat itu ada petugas kemanan di sana). Berita ini kelihatannya berpengaruh pada pemirsa tv dimana seolah-olah penjarahan itu direstui oleh petugas, sehingga sampai esoknya penjarahan masih berlangsung dan malah menjalar ke beberapa tempat, baik di Jabotabek maupun di kota lain.

Itulah salah satu bahaya bila pemberitaan pers itu tidak disaring dulu. Mungkin maksudnya baik yaitu menyampaikan berita hangat, aktual sesuai fakta yang ada, tetapi karena daya nalar, daya analisa serta kwalitas iman & taqwa yang rendah ditambah pula dengan kondisi krismon (krisis moneter) dari si penerima, maka berita yang seharusnya diterima hanya sebatas sebagai informasi itu berubah menjadi stimulus (rangsangan), menjadi bahan acuan bagi mereka untuk berbuat hal yang sama.

Apalagi kalau pembawa berita itu adalah orang fasik yang bermaksud mengacau suasana stabil, tentu sangat berbahaya akibatnya (Lihat Al Hujurat : 6 di atas). Itulah sebabnya karena berita itu berdampak langsung kepada si penerima maka diperlukan batas-batas (etika pers) yang harus disepakati, dipatuhi oleh kalangan pers.

Etika Pers Yang Islami.

Karena tugas pers itu sama dengan tugas para da’i, mubaligh yaitu a.l. memberi pendidikan, penerangan, petunjuk (tentu di jalan yang lurus), maka alangkah baiknya kalau mereka dibekali iman, taqwa dan etika (akhlak) yang berdasarkan Islam. Bila kita merujuk kepada Al Qur’an maka etika pers yang baik adalah dalam rangka melaksanakan tugas amar makruf nahi mungkar dengan cara antara lain yaitu :

(1) Tidak menimbulkan perselisihan (An Anfaal : 46) dan menjaga per-satuan (Aali Imraan : 103)
(2) Tidak mencela, memaki, mengumpat (Al Hujurat : 11)
(3) Tidak mencari keburukan orang (Al Hujurat : 12)
(4) Tidak memfitnah (Al Baqarah : 191 dan 217)
(5) Tidak berdusta (Al Ahzaab : 70), dan tidak menyebarkan/berkata bohong (Al Ahzaab : 60-62), serta berkata yang baik dan benar (Al Israa’ : 53).
(6) Tidak berprasangka buruk (Al An’aam : 116; Al Hujurat : 12; Yuunus : 35-36)
(7) Teliti lebih dulu (Al Hujurat : 6)
(8) Tidak membuat kerusakan (Asy Syu’araa’ : 151-152)
(9) Cinta persaudaraan, perdamaian (An Nisaa’ : 114; Al Hujurat : 9-10)

Demikian, semoga bermanfa’at.

Waladzikrullahi Akbar.

Jum'at, 17 Safar 1419 H - 12 Juni 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar