Jumat, 09 Juli 2010

MENGUSUT HARTA - Dimulai Dari Diri & Keluarga

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur'an, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya pada mereka itu ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. Dan barang siapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Al Mumtahanah : 6).

Media masa tgl. 28 Mei lalu memberitakan pernyataan Wakil Jaksa Agung Ismudjoko yang akan mengadakan penyelidikan, pelacakan, pengusutan harta kekayaan para pejabat dan mantan pejabat (Bisnis Indonesia, 28 Mei 1998, Hal. 1). Masalah ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru karena sebelumnya, jauh sebelum upaya reformasi merebak sudah gencar diminta oleh masyarakat banyak tetapi tidak pernah ada kelanjutannya. Ketika tuntutan reformasi bergulir masalah ini mencuat kembali dan bahkan merupakan salah satu yang paling diperjuangkan oleh para mahasiswa. Pengusutan itu memang sudah sewajarnya dilakukan mengingat para pejabat itu adalah orang yang mendapat amanah dari rakyat untuk mengelola harta kekayaan negara Republik Indonesia, yang berarti harus dipertanggung jawabkan kepada rakyat. Kalau saat ini dia memiliki suatu kekayaan dalam jumlah besar, apakah kekayaan itu diperolehnya dengan cara benar, jujur, halal atau tidak. Apakah ada tindakan tidak terpuji dalam menumpuk harta tersebut, misalnya diperoleh melalui korupsi, kolusi, komersialisasi jabatan (aji mumpung)? Kalau dari pengusutan ada, tentu harus diproses sesuai hukum berlaku.

Syarat Menjadi Pengusut.

Agar berhasil sesuai harapan, maka para pengusut harta itu haruslah orang yang bebas dan bersih pula dari KKN (Korupsi, Kolusi, Koncoisme, Nepotisme). Pengusut adalah orang yang sama sekali tidak pernah melakukan dan terlibat KKN. Dengan demikian dia akan merasa enteng dan leluasa dalam melakukan pengusutan harta pejabat atau mantan pejabat. Merasa enteng karena tidak ada beban mental pada dirinya dan merasa aman karena tidak ada rasa bersalah, sesuai firman Allah SWT : “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur imannya dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al An’aam : 82)

Undang-Undang.

Untuk pengusutan harta kekayaan para pejabat maupun mantan pejabat seharusnya sudah dibuatkan undang-undang atau peraturannya yang jelas yang langsung diberlakukan kepada yang bersangkutan pada saat dia memegang suatu jabatan. Dengan demikian akan diketahui jumlah kekayaan seorang pejabat sebelum dan sesudah tidak menjadi pejabat. Dan lebih baik lagi kalau undang-undang tersebut diperlakukan kepada setiap pegawai negeri, baik dia itu pegawai rendah maupun pegawai tinggi.

Mengapa? Rasanya sudah merupakan rahasia umum kalau berurusan dengan para petugas atau oknum di kantor-kantor Pemerintah maka akan ada dana tak terduga yang keluar dari kocek kita. Tidak terduga, karena tidak ada peraturannya, tidak ada tarifnya dan tidak ada kwitansi tanda terimanya. Kolusi, korupsi dan komersialisasi jabatan ini sifatnya TST (tahu sama tahu) antara pemberi (orang yang berurusan) dengan penerima (petugas yang mengurus). Si pemberi harus tahu diri, karena kalau tidak diberi, urusan bisa tidak lancar atau bahkan macet sama sekali, sehingga ada pemeo, “mau pilih jalan biasa atau jalan tol?”. Kalau mau cepat, tentu lewat jalan tol; dan ini berarti harus bayar. Selanjutnya terserah anda.

Hal di atas ini adalah peristiwa yang benar terjadi berdasarkan pengalaman. Jauh berbeda dengan peristiwa yang dialami oleh rakyat (umat) Islam sa’at pemerintahan (Amirul Mukminin) Khalifah Umar bin Abdul Aziz, cicit Umar bin Khaththab ra.

Peristiwa Teladan.

Umar bin Abdul Aziz tergolong orang paling kaya dan banyak harta di kalangan bangsa Arab. Namun begitu menjadi khalifah, langsung dipanggilnya pembantunya dan lalu disuruhnya orang-orang dirumahnya supaya mengeluarkan peti-peti simpanan dan membongkar isinya. Mereka keluarkan isinya yang antara lain terdapat banyak catatan-catatan harta. Ketika pembantunya itu disuruh membacakan ternyata catatan-catatan itu adalah milik Bani Abdul Aziz seluruhnya.

Satu persatu catatan itu dibacakan dan tiap kali mendengar satu catatan, beliau mengatakan, “Ya itu kepunyaanku dari ayahku”, lalu dirobeknya dan harta yang tercatat di situ diserahkan ke Baitul Mal. Yang lain dibacakan, beliau katakan, “Ya, ini kepunyaanku dari ibuku”; beliau robek lalu hartanya diserahkan ke Baitul Mal seraya berdo’a, “Semoga ibuku mendapat rahmat Allah.” Dibacakan pula catatan lainnya, kata beliau, “Ya, ini kepunyaanku hasil dagang dan usahaku”, lalu dirobeknya catatan itu dan harta yang tercatat diserahkan ke Baitul Mal, seraya mengatakan, “Kiranya Tuhan merahmati aku.....” dan tangisnya pun pecah. Begitulah akhirnya dilepaskannya semua miliknya yang jumlahnya banyak, banyak sekali.

Tindakan tersebut tentu saja ada hikmahnya, yaitu :

1) Agar tidak ada orang membujuknya untuk mengembangkan hartanya lebih banyak lagi melalui fasilitas kekuasaan yang dipegangnya.

2) Agar jangan sampai ia sibuk mengurusi hartanya sendiri hingga lupa mengurusi harta kaum Muslimin.

3) Yang terpenting adalah agar ia dapat hidup sederhana, setingkat dengan rakyatnya yang paling miskin. Dengan demikian, beliau akan dapat merasakan derita kaum melarat dan kesengsaraan yang mereka alami sehingga kemudian berusaha sekuat tenaga membela mereka.

4) Dan, agar dapatlah beliau itu menjadi contoh bagi para pejabat negara yang lain.

Setelah dilepaskannya seluruh hartanya lalu ia berkata kepada istrinya Fatimah, “Telah kau lihat, apa yang kulakukan. Maka kalau kamu ingin tetap di sisiku, tirulah aku. Jangan sampai aku faqir, sedang kamu kaya; aku berzuhud sedang kamu berfoya-foya. Oleh karena itu berikan ke Baitul Mal seluruh harta yang ada padamu, baik uang, perhiasan, permata dari ayahmu atau ibumu, atau yang didapat dari hasil perdaganganmu. Kalau kamu suka melakukan itu, maka kamu akan tetap berada di sisiku. Sedang kalau kamu menolak, maka aku tak mau lagi berkumpul denganmu dan hartamu dalam satu rumah.” Dengan rela dan suka cita, Fatimah menjawab, “Aku menuruti apa katamu, ya Amiral Mukminin. Inilah semua yang ada padaku, saya serahkan dengan rela dan cinta karena Allah, semata karena ibadah...”

Ketika Umar bin Abdul Aziz meninggal dunia tentu saja tak ada kekayaan pribadi yang beliau tinggalkan untuk istrinya maupun anak-anaknya, baik berupa harta tetap maupun bergerak. Kemudian beliau digantikan oleh khalifah yang baru, Yazid bin Abdul Malik, yaitu saudara Fatimah sendiri. Begitu Yazid menjadi khalifah, maka dilihatnya perbendaharaan negara, diperiksanya catatan yang ada. Lalu dipanggilnya adiknya, Fatimah. Dikatakan padanya, “Sesungguhnya aku tahu bahwa Umar telah menganiaya dirimu dengan merampas seluruh hartamu, dan dimasukkan ke Baitul Mal. Saya lihat dalam catatan yang ada, dan tahulah aku berapa sudah dirampas darimu. Sungguh banyak sekali. Dan semua itu akan saya kembalikan kepadamu, ditambah hasil usaha yang telah dia lakukan.” Fatimah menolak, bahkan katanya sambil menangis meratapi suaminya, “Semoga Allah merahmati engkau hai Umar. Engkau telah membiasakan aku hidup seperti yang telah aku biasakan. Demi Allah, aku takkan mengambilnya kembali selama-lamanya. Demi Allah, sekali-kali aku takkan menaatinya hanya di kala hidupnya, sedang setelah mati aku mendurhakainya.”

Itulah sebagian kisah yang ditulis dalam kitab Laqad Kana Lakum Fikum Uswatun Hasanah, Kanu tentang Umar bin Abdul Aziz yang karena kezuhudannya digelari dengan Syaikhuz Zahidin Wa Imamul Abidin yang berarti Guru para zahidin dan imam para pengibadah. Dengan akhlak para pejabat yang baik itu maka di masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz pernah terjadi tak ada seorangpun mau menerima sedekah karena makmurnya. Zakat yang telah terkumpul diumumkan agar diambil oleh siapa saja yang membutuhkannya. Namun tidak seorang pun yang merasa patut mengambilnya. Maka, pindahlah pengumuman itu dari satu ke negeri lain dan ke kota lain. Namun, di sana tidak ada lagi seorang Muslim pun yang faqir atau miskin.

Reformasi Ruhani

Bila kita instrospeksi diri, melakukan muhasabah, bertanya pada diri sendiri ke dalam nurani yang paling dalam; mungkinkah kita pada zaman yang serba maju ini dimana materi yang menjadi tolok ukurnya, berbuat seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz itu?

Melalui reformasi ruhani, kita pasti bisa. Caranya, sadarkan diri bahwa harta itu merupakan :

(1) Titipan dari Allah (Lihat Surah Al Hadiid : 7)
(2) Perhiasan dunia semata (Surah Aali Imran : 14 dan Al Kahfi : 46)
(3) Sebagai cobaan atau ujian iman (Lihat Surah Al Anfaal : 28)
(4) Bekal untuk ibadah, jihad (Lihat Surah At Taubah : 41)
(5) Merupakan nikmat yang perlu di syukuri, bukan dikufuri (Lihat Surah Ibraahiim : 7).

Demikian, semoga bermanfa’at.

Waladzikrullahi Akbar.

Jum'at, 10 Safar 1419 H - 5 Juni 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar