Sabtu, 03 Juli 2010

FAQIR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur'an, Allah SWT berfirman: “Bersedekahlah bagi orang-orang fakir yang terikat pada jalan Allah, mereka tidak dapat berusaha di bumi (mencari penghidupan). Orang yang tidak tahu, mengira mereka itu orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Engkau dapat mengetahui dengan tanda-tanda mereka; tidak meminta kepada manusia berulang-ulang. Dan apa-apa yang kamu nafkahkan dari harta maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”. (Al Baqarah : 273)

Fuqara atau kaum faqir di dalam Al Qur’an dan Al Hadist disiratkan sebagai orang yang dapat membantu orang kaya. Rasanya aneh, bagaimana mungkin orang yang lemah dalam ekonomi dapat membantu orang yang kuat ekonomi. Bahkan dalam suatu hadist dikatakan pula bahwa orang kaya itu menjadi kaya adalah karena bantuan orang faqir. Seperti hukum anomali (ada hal yang menyimpang) karena secara umum dalam struktur ekonomi keuangan bidang perbankan atau lembaga simpan pinjam maka orang atau institusi yang kuat perekonomiannya akan membantu yang lemah. Sekarang, mari kita lihat hal ini dengan kacamata Islam.

Dalam Al Qur’an dan hadist, faqir didefinisikan sebagai orang yang tidak mempunyai penghasilan tetap untuk mencukupi nafkah hidupnya sehari-hari dan pekerjaan mereka terikat pada jalan Allah. Mereka itu mempunyai ciri-ciri tidak meminta kepada manusia dengan berulang-ulang. Bahkan acapkali orang akan mengira kalau mereka itu kaya karena mereka menjaga diri dari meminta-minta. Selanjutnya dalam Al Qur’an dan Hadist disebutkan pula bahwa kepada golongan inilah hendaknya orang yang mampu harus bersedekah.

Rasulullah SAW bersabda :“Yang disebut miskin bukanlah orang yang pekerjaannya mengemis keliling kampung, sehingga tertolak dari satu dua suap nasi atau satu dua biji kurma. Namun miskin menurut definisi Islam harus ditolong dan diperhatikan, yaitu orang yang tiada usaha/tidak punya penghasilan tetap untuk mencukupi nafkahnya, dan tidak mengundang perhatian umum untuk disantuni/ disedekahi dan tidak pula keliling mengemis ke pintu setiap orang”. (HR. Bukhari, Muslim)

Firman Allah SWT menegaskan: “Bersedekahlah bagi orang-orang fakir yang terikat pada jalan Allah, mereka tidak dapat berusaha di bumi (mencari penghidupan). Orang yang tidak tahu, mengira mereka itu orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Engkau dapat mengetahui dengan tanda-tanda mereka; tidak meminta kepada manusia berulang-ulang. Dan apa-apa yang kamu nafkahkan dari harta maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”. (Al Baqarah : 273)

Islam sangat melarang perbuatan meminta-minta, hal ini terkecuali bagi orang yang menanggung hutang, orang yang bangkrut usaha-nya dan orang miskin. Itupun terbatas sampai telah terpenuhi kebutuhannya. Bagi yang akan memberi bantuan maka Islam juga mengajarkan agar melakukan pengecekkan terlebih dulu, apakah mereka itu termasuk pada kategori yang disebutkan di atas.

Hal ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Mukharik (Kobishah) : “Aku memohon bantuan Rasul SAW dalam menyelesaikan suatu tanggungan harta, secara terus terang aku meminta kepadanya. Lalu beliau bersabda : “Nantikanlah hingga zakat atau sedekah tiba, kuberikan bagianmu”. Kemudian sabdanya pula : “Hai Kobishah, pekerjaan mengemis itu tidak halal, kecuali manusia tiga macam, yaitu pertama orang yang tengah memikul beban tanggungan hutang, sampai bebas dari tanggungannya, kemudian berhentilah. Kedua, orang yang ditimpa musibah bangkrut modal usahanya secara habis-habisan, sampai terpenuhi kebutuhannya. Ketiga, orang miskin yang dapat dibuktikan miskinnya oleh sedikitnya tiga tokoh masyarakat setempat, sampai memperoleh kehidupan selayaknya (ukuran sederhana). Maka selain tiga macam orang tersebut di atas, hai Kobishah, mengemis adalah pekerjaan haram, yang berarti haram pula hasil pekerjaan/usahanya itu, dan dengan demikian orang tersebut selalu makan barang haram”. (HR. Muslim)

Sholat dan Shadaqoh.
Amal sholat hamba Allah tidak diterima kalau haknya orang faqir belum ditunai kan yaitu mereka diberi santunan berupa shadaqoh ataupun zakat. Dalam hadist Qudsi Allah SWT berfirman : “Tidak semua orang yang sholat itu bersholat. Aku hanya menerima sholatnya orang yang merendahkan diri kepada keagungan-Ku, menahan syahwatnya dari perbuatan haram larangan-Ku dan tidak terus menerus bermaksiat terhadap-Ku, memberi makan kepada yang lapar dan memberi pakaian orang yang telanjang, mengasihi orang yang terkena musibah dan menampung orang asing. Semua itu dilakukan karena Aku”. (HR. Adailami)

Orang yang tidak mau menunaikan hak orang fakir miskin adalah orang yang pelit, kikir atau bakhil. Sifat kikir sangat buruk dan dia itu miliknya ahli neraka. Orang kikir dimasukkan ke neraka karena kekikirannya dan juga akibat bawaan dari kekikirannya yaitu menjadi zholim dan pemutus hubungan. Kedua sifat itu selalu mengikuti sifat kikir. Sifat kikir mendorong manusia untuk bersikap dholim hingga mereka melakukan kezholiman dan sifat kikir mendorong manusia pula untuk memutuskan shilaturahmi hingga merekapun memutuskan shilaturahmi. Orang yang mampu, kaya tetapi tega membiarkan orang faqir terlunta, sengsara karena sifat kikir adalah orang yang zholim. Orang kaya yang membiarkan sanak kerabat serba kurang dan bahkan ada yang tidak mau bertemu dengan kaum kerabatnya karena kikirnya, adalah orang zholim sekaligus pemutus hubungan shilaturahmi.

Apa motivasi yang membuat orang menjadi kikir? Pada umumnya mereka takut harta berkurang (Tanda-tanda kekikiran) dan takut menjadi miskin. Orang kikir adalah orang yang takut miskin dan berarti dia tidak percaya adanya Kekuasaan Allah, bahwa kaya dan miskin itu ada di bawah hukum Allah. Dari sini berkembang pula bahwa orang kaya wajib memberi kepada orang miskin (melalui zakat) adalah di bawah hukum Allah. Orang yang tidak percaya pada hukum Allah berarti dia ada di bawah pengaruh syaitan.

Dalam Al Qur'an, Allah SWT berfirman: “Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada - Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Al Baqarah : 268)
Selanjutnya dalam surah Ali Imraan ayat 180 Allah SWT mengingatkan tentang azab bagi mereka yang bersifat kikir ini : “Dan janganlah sekali-kali mengira orang yang kikir dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya, bahwa itu lebih baik bagi mereka; sebenarnya (kekikiran) itu buruk bagi mereka. Apa yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan pada leher-leher mereka pada hari kiamat. Dan bagi Allah segala pusaka di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerja- kan”. (Ali Imran : 180)

Kalau bagi yang kikir ada balasan buruk, tentu bagi yang berbuat baik ada pula balasan baiknya. Berbuat baik kepada faqir miskin adalah sama dengan berbuat baik kepada Allah dan orang yang berbuat baik kepada Allah maka Allah pun akan berbuat baik kepadanya. Bila orang kaya berbuat baik kepada orang fakir dengan hartanya, maka orang fakir berbuat baik kepada orang kaya dengan do’anya.

Diriwayatkan bahwa dalam hadist Qudsi Allah SWT berfirman : “Dekatkanlah dirimu kepada-Ku dengan mendekatkan dirimu kepada kaum lemah dan berbuatlah ihsan kepada mereka. Sesungguhnya kamu memperoleh rezeki dan pertolongan karena dukungan dan bantuan kaum lemah di kalangan kamu”. (HR. Muslim)
Dalam hadist-hadist lain ada pula diriwayatkan bahwa surga itu berisi sebagian besar oleh orang miskin dan sedangkan orang kaya, bila dia masuk ke surga maka jarak lamanya dimasukkan ke surga itu dengan orang miskin adalah 500 tahun. Mengapa begitu lama beda waktu antara keduanya? Orang miskin sedikit hisabnya, sedang orang kaya akan ditanya tentang hartanya yang banyak secara detail, satu persatu, dari mana didapatkan (cara halal atau haram) dan kemana pula harta itu ditasyarufkan (dikeluarkan). Kalau harta si orang kaya tersebut banyak dikeluarkan untuk amal, membantu orang fakir misalnya, maka akan selamatlah dia dan dimasukkan ke surga.

Di dalam Tanbihul Ghafilin diriwayatkan bahwa Nabi SAW telah bersabda : “Banyak-banyaklah berkenalan dengan orang-orang fakir dan jadikanlah mereka itu orang-orang yang terkemuka, karena sesungguhnya mereka mempunyai kekuasaan”. Para sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah kekuasaan mereka itu?”. Beliau bersabda : “Nanti pada hari kiamat, dikatakan (kepada mereka) : “Carilah orang yang pernah memberi sesuap makanan kepadamu, memberi seteguk air minum kepadamu, dan memberi sepotong pakaian, lantas peganglah tangannya kemudian masukkan lah ia ke sorga”.

Dalam hadist lain yang sejalan, Nabi SAW bersabda : "Seorang pemurah adalah pohon surga yang rantingnya beruluran ke dunia. Barangsiapa mengambil rantingnya itu, dia akan terbawa ke surga. Bakhil adalah pohon neraka yang rantingnya pun beruluran ke dunia. Maka barangsiapa mengambil rantingnya itu, dia akan terbawa ke neraka”. (HR. Al Baihaqi)

Orang beriman tentu tidak mau masuk neraka, bukan? Nah, jangan memelihara sifat kikir dan jadilah orang pemurah, tidak bakhil apa-lagi kalau mendapatkan karunia nikmat yang berlebih maka hendaklah sebagian daripadanya di infakkan pada jalan Allah. Bila mempunyai kelebihan harta dan berniat akan memberi sadaqoh hendaklah melihat dahulu keadaan kerabat dekat dan sanak saudara, apakah ada diantara mereka yang faqir, yang membutuhkan bantuan. Tunaikan dulu hak mereka sebagai kerabat (yaitu shilaturahim) dan kalau masih ada baru tunaikan haknya orang faqir di luar kerabat dan saudara, karena kalau mereka terlewatkan maka Allah tidak mau memandang (memperhatikan) kita di hari kiamat. Kalau orang yang kita cintai (Misal si dia waktu masa berpacaran dulu) tidak sudi melihat kita rasanya sudah seperti kiamat, apalagi kalau yang tidak mau melihat itu Allah, betapa rasanya tidak seorangpun yang dapat membayangkannya.

Rasulullah SAW bersabda : “Demi yang mengutus aku dengan haq (benar), Allah tidak akan menerima sedekah seorang yang punya keluarga dekat yang tengah membutuhkan santunannya sedangkan sedekah itu diberikan kepada orang lain. Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya, ketahuilah, Allah tidak akan memandangnya (memperhatikannya) kelak pada hari kiamat”. (HR. Thabrani).
Rasulullah SAW juga bersabda : “Sadaqoh kepada orang miskin berarti sadaqoh satu kali, namun kepada keluarga terdekat berarti dua kali sadaqoh, yakni pertama pahala sadaqoh itu sendiri dan kedua pahala menyambung shilaturahim”. (HR. Turmudzi)

Memberi sadaqoh ataupun menunaikan zakat kepada yang berhak menerimanya adalah tanda-tanda dari orang yang mensyukuri nikmat karunia-Nya. Itulah pula sebabnya orang yang tidak bersyukur atas nikmat karunia Allah dan orang yang tidak mengeluarkan haknya orang fakir yang ada di dalam hartanya maka Allah akan menimpakan azab kepadanya : “Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memberitahukan, “Sungguh jika kamu bersyukur, niscaya Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkarinya, sungguh azab-Ku sangat keras”. (Ibraahiim : 7)

Banyak sudah umat terdahulu yang mendapat azab dari Allah akibat ingkar akan nikmat karunia Allah. Sebagai contoh populer adalah Qarun yang kikir, yang dikisahkan dalam Al Qur’an.
Rasulullah SAW bersabda : “Jauhkanlah dirimu dari sifat kikir karena kikirlah yang telah mencelakakan orang-orang sebelummu. Kikir mendorong manusia untuk bersikap zhalim hingga mereka melakukan kezhaliman. Kikir mendorong manusia memutuskan shilaturahmi hingga merekapun memutuskan shilaturahmi”. (HR. Abu Dawud).

Qarun, umat Nabi Musa as berlaku kufur atas nikmat karunia Allah dan dia tidak mau berbuat baik sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, maka Allah menjatuhkan azab; dia serta harta kekayaan yang amat disayanginya dibenamkan ke bumi. (Al Qashash : 78 – 82)

Sebagai orang yang beriman maka kisah Qarun perlu dipetik sebagai ibrah (pelajaran), bukan untuk dicari harta peninggalannya karena harta itu cobaan. Kalau iman tidak kuat, didikan agama belum pula mantap, maka harta itu kelak akan menjadi penyebab kita lupa kepada Allah yang telah mengaruniakan segala nikmat. Lupa kepada-Nya berarti kita tidak mensyukuri atas nikmat yang telah dilimpahkan Allah kepada kita. Bila nikmat karunia Allah tidak disyukuri maka nikmat itu akan berubah menjadi naqmah, menjadi siksaan bagi kita, dan termasuklah kita pada orang yang merugi.

Firman Allah SWT : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi”. (Al Munafiqun : 9)
Rasulullah SAW bersabda : “Jika Allah SWT memberikan kenikmatan kepada suatu kaum dan Allah lalu minta agar mereka bersyukur, maka jika mereka bersyukur, Allah akan menambah kenikmatan kepada mereka. Tetapi jika mereka kufur, maka Allah berkuasa untuk menyiksa mereka (merubah nikmat-Nya yang diberikan itu menjadi suatu siksaan)”. (HR. Abu Dunya)

Ingatlah Allah bila mendapat suatu nikmat, jangan ingkari karunia Allah itu dan hendaklah takut kepada azab-Nya yang sangat keras. Janganlah seperti Qarun ataupun menjadi orang yang menemaninya di neraka kelak. Allah SWT telah mengingatkan : “Sebab itu ingatlah Aku niscaya Aku ingat pula kepada kamu dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku”. (Al Baqarah : 152)
Sampaikanlah rasa syukur itu dengan cara yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, bukan dengan cara yang maksiat dan mengada-ada (bid’ah), yang tidak ditunjukkan oleh Nabi SAW.

Islam mengajarkan cara bersyukur yaitu syukur dengan lisan, dengan hati dan dengan tindakan amaliah. Mensyukuri karunia nikmat harta juga tidak terlepas dari yang tiga tersebut, di mana syukur dengan tindakan amaliah adalah mengeluarkan zakat, infaq dan sadaqoh kepada yang berhak.

Bagaimana cara mengeluarkannya yang baik? Serahkan harta itu secara diam-diam sehingga tangan kiripun tidak tahu. Maksudnya tidak ada orang lain yang tahu agar diri terlepas dari sifat riya’, ingin dipuji, ingin disanjung. Bahaya, bila sifat ini menghinggapi anak Adam. Riya’ itu adalah syirik kecil karena perbuatan amalnya ditujukan untuk maksud lain, bukan dengan niat karena Allah.

Firman Allah SWT : “Jika kamu nyatakan sedekah (tidak secara sembunyi dengan maksud agar menjadi contoh) maka sedekah itu baik. Dan jika menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang faqir, maka adalah lebih baik bagimu; dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Al Baqarah : 271)

Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabat, seperti yang telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud : “Siapakah diantara kalian yang lebih mencintai harta warisan daripada harta milik sendiri?”. Para sahabat menjawab : “Ya Rasul, tiada seorangpun dari kami kecuali mencintai harta milik sendiri”. Lalu sabdanya : “Ketahuilah bahwa harta milik sendiri yaitu harta/uang yang sudah diamalkan dan dipakai keperluannya, sedangkan harta warisan yaitu harta yang belum dipakai (masih disimpan)”. (HR. Bukhari)

Kalau seseorang mati, maka harta dan keluarga yang disayangi tidak akan dibawa ke kubur. Mereka akan kembali kerumah sesudah penguburan selesai. Yang mau menemani seorang hamba di liang kubur hanya amal. Kalau selama hidup di dunia amal baiknya lebih banyak maka selamatlah dia, tetapi kalau amal buruk lebih banyak maka celakalah dia. Oleh karena itu infakkan harta pada jalan Allah, untuk nafkah keperluan diri sendiri, keluarga, orangtua, kerabat, anak yatim dan fakir miskin. Harta yang diinfakkan pada jalan Allah inilah yang benar-benar menjadi milik kita, menjadi simpanan (sebagai pahala) untuk dibuka di akhirat kelak. Sedangkan harta yang tidak diinfakkan akan menjadi harta warisan (yang kadang-kadang diperebutkan) bagi orang-orang yang ditinggalkan.

Ada komentar bahwa orang faqir itu hanya sedikit pahala amaliahnya karena tidak mempunyai kelebihan harta untuk disedekahkan bila dibandingkan dengan orang kaya. Nabi SAW mengajarkan cara beramal saleh agar orang faqir dapat menyamai amalannya orang kaya. Jadi kefaqiran tidaklah menghambat seseorang itu untuk memperbanyak amal ibadahnya. Diriwayatkan oleh Abu Dzarr ra, bahwa sahabat Nabi bertanya : “Ya Rasulullah, orang-orang yang banyak hartanya memperoleh lebih banyak pahala. Mereka sholat sebagaimana kami sholat dan ber-puasa sebagaimana kami berpuasa dan mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka”. Nabi SAW lalu berkata : “Bukankah Allah telah memberimu apa yang dapat kamu sedekahkan? Tiap-tiap ucapan tasbih adalah sedekah, takbir sedekah, tahmid sedekah, tahlil sedekah, amar ma’ruf sedekah, nahi mungkar sedekah, bersenggama dengan istripun sedekah”. Para sahabat lalu bertanya : “Apakah melampiaskan syahwat mendapat pahala?. Nabi SAW menjawab : “Tidakkah kamu mengerti bahwa kalau dilampiaskannya di tempat yang haram bukankah itu berdosa? Begitu pula kalau syahwat diletakkan di tempat halal, maka dia memperoleh pahala”. (HR. Muslim)

Sekarang yang menjadi tugas para ulama, para da'i, juru dakwah bersama orang kaya adalah menyamakan visi (pandangan) dan gerak langkah agar orang faqir tidak menjadi kafir seperti yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW.

Waladzikrullahi Akbar.

Jum'at, 23 Muharram 1418 (30 May 1997)

1 komentar: