Jumat, 16 Juli 2010

PAHLAWAN – Yang Sejati Tidak Ingin Dikenal

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur’an, Allah SWT berfirman ; Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah lebih baik bagi kamu kalau kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu kedalam sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam sorga Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (Ash-Shaf : 10 – 12)

Seorang ayah pemegang bintang gerilya, tanda jasa turut berjuang pada perang kemerdekaan, berkata pada anaknya bahwa apabila tiba sa’atnya kelak dia dipanggil menghadap kepada Allah maka kuburkanlah jasadnya di kampung bersebelahan dengan kedua orangtuanya yang telah mengukir jiwa raganya. Walaupun ada haknya ditempatkan di Makam Pahlawan tetapi beliau sama sekali tidak ingin karena bukan itu yang dicari waktu dulu berjuang melawan penjajahan. Bukan sanjungan, pujian dan bukan tanda-tanda jasa yang dikejarnya.

Bintang gerilya dan tanda anggota LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) yang disimpannyapun adalah hasil jerih payah teman yang menghormatinya dan bukan atas permintaan ataupun kemauannya sendiri, di sa’at banyak orang lain berlomba-lomba ingin memperolehnya (kalau perlu dengan cara apapun jadi) walaupun mereka itu bukanlah pejuang dan malah seringkali justru pengkhianat perjuangan.

Cerminan sosok pahlawan sejati yang tidak ingin dikenal sebagai bekas pejuang kemerdekaan ataupun sebagai pahlawan. Baginya berjuang bela negara melawan penjajah adalah suatu kewajiban yang harus dipikul oleh setiap anak bangsa. Bukan tindakan agar kelak dielu-elukan sebagai pemberani atau sebagai pahlawan atau sebagai orang yang dihormati dan kemudian kelak menuntut hak-hak atau fasilitas-fasilitas sebagaimana layaknya orang yang telah berjasa.

Amal Tergantung Niat

Kisah di atas adalah satu kejadian langka pada zaman di mana banyak orang sudah terkena polusi “ingin dihargai” dalam falsafah perjuangannya. Pantas saja Maslow, pakar ilmu jiwa, dalam teorinya menempatkan faktor ingin dihargai (Esteems) dalam salah satu hierarki, tingkatan kebutuhan manusia. Pendapat yang banyak dimanfa’atkan ilmu manajemen ini benar dan wajar ditinjau dari sudut perilaku kebiasaan manusia (human behavior), tetapi bagaimana dari sudut agama? Dalam suatu hadits Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya amal-amal perbuatan tergantung niatnya, dan bagi tiap orang apa yang diniatinya. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya untuk meraih kesenangan dunia atau menikahi wanita, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia hijrahi (tidak diterima oleh Allah).” (HR. Bukhari)

Kalau begitu sungguh beruntunglah mereka yang beramal, berjuang, berjihad dengan niat karena Allah dan Rasul-Nya; dengan niat menegakkan asma Allah, hukum Allah, ayat-ayat Allah dan agama Allah. Bagaimana dengan nasib orang yang berjuang dengan niat bukan karena Allah dan Rasul-Nya? Dalam suatu hadits diceritakan: “Sesungguhnya manusia yang pertama dihukumi pada hari Kiamat adalah seorang yang mati syahid, lalu ia dibawa, dikenalkan nikmatnya maka ia mengakuinya. Allah berfirman: “Apakah yang kamu lakukan padanya?”. Ia menjawab: “Saya berperang karena Engkau sehingga saya mati syahid”. Dia berfirman: “Kamu berdusta, tetapi kamu berperang agar dikatakan pemberani, dan itu telah dikatakan”. Kemudian ia diperintahkan. Lalu mukanya ditelungkupkan sampai ia dilemparkan dalam neraka. Dan seseorang yang belajar ilmu, mengajarkannya dan membaca Al Qur’an didatangkan. Lalu nikmat-nikmatnya dikenalkan dan ia mengakuinya. Allah berfirman: “Apakah yang kamu lakukan kepadanya?”. Ia menjawab: “Saya belajar ilmu, mengajarkannya dan membaca Al Qur’an karena Engkau”. Dia berfirman: “Kamu berdusta, tetapi kamu belajar agar dikatakan ‘Alim (pandai) dan kamu membaca Al Qur’an agar dikatakan Qari’ (pembaca Al Qur’an), itu telah dikatakan”. Kemudian diperintahkan terhadapnya, maka mukanya ditelungkupkan sehingga ia dilemparkan kedalam neraka. Dan seseorang yang dilapangkan dan diberi bermacam-macam harta didatangkan, lalu dikenalkan dan ia mengakuinya. Allah berfirman: “Apakah yang kamu amalkan kepadanya? Ia menjawab: “Saya tidak meninggalkan satu jalanpun yang Engkau sukai agar jalan itu dinafkahi melainkan saya nafkahi dengan harta itu karena Engkau”. Dia berfirman: “Kamu berdusta, tetapi kamu mengerjakan agar dikatakan Dermawan, dan itu telah dikatakan”. Kemudian ia diperintahkan, lalu mukanya ditelungkupkan kemudia ia dilemparkan ke dalam neraka”. (HR. Muslim, dll).

Pejuang Sejati Tak Akan Pernah Berhenti

Ungkapan dalam bahasa Inggris mengatakan The old soldier never die, yang berarti seorang pejuang atau seorang prajurit sejati tidak akan pernah berhenti dalam berjuang. Tidak kenal lelah dan tidak kenal menyerah. Seorang pejuang kemerdekaan tidak kenal kata berhenti dalam berjuang walaupun ketika kemerdekaan itu telah tercapai, karena dia akan tetap berjuang untuk mengisi kemerdekaan yang telah direbutnya dengan bersusah payah, yang harus dibayar mahal dengan harta bahkan darah dan nyawa sahabat-sahabatnya.

Coba lihat berapa banyak sekolah-sekolah atau pendidikan milik swasta yang didirikan sesudah perang usai oleh para pejuang? Adakah motivasi atau tujuan mereka itu karena mencari uang? Tidak. Mereka mendirikan sekolah dengan sederhana dan dana apa adanya; belajar cuma di bawah pohon dan niat mendidik anak-anak agar kelak menjadi orang, tidak mudah ditipu karena punya pengetahuan baca tulis dan berhitung. Mereka yang mengajarpun bukan tamatan sekolah guru. Hanya motivasi kuat agar anak-anak menjadi oranglah yang mendorongnya.

Biaya sekolahpun sangat-sangat murah sekali. Bila ada anak yang orangtua tidak mampu tetapi minat belajar ada maka mereka tetap diizinkan belajar dengan gratis. Inilah ciri sekolah jihad, sekolah para pejuang. Pejuang sejati, pahlawan sejati adalah yang selalu berjuang untuk bangsanya, tanpa henti, tanpa pamrih, atau niat agar kelak disanjung, dipuji dengan sebutan pahlawan.

Pada sa’at ini apabila sekolah-sekolah itu menjadi besar, baik fisik bangunan maupun jumlah murid maka itu adalah karena perkembangan zaman; misalnya a.l akibat pertambahan jumlah penduduk dan kemudian akibat kemajuan pembangunan maka meningkat pula pendapatan masyarakat dan kemudian meningkat pula kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang baik.

Jauh berbeda dengan sekolah-sekolah yang didirikan pada masa sekarang yang tumbuh subur menjamur; apalagi di kota-kota besar dengan embel-embel boarding school (murid di asrama), sekolah favorit atau unggulan yang buntutnya adalah keunggulan biaya yang sangat mahal, yang tidak mungkin terjangkau oleh kebanyakan orangtua murid. Sekolah masa kini sudah kehilangan idealismenya karena sudah terkena polusi motivasi bisnis, sarana mencari uang.

Demikian pula dengan kebanyakan guru sekarang ini di mana mengajar bukan dengan niat agar murid kelak menjadi orang berguna bagi nusa bangsa atau paling sedikit bagi dirinya sendiri (bagi murid itu), tetapi adalah untuk cari nafkah dan dia terpaksa menjadi guru. Terpaksa masuk ke sekolah guru seperti IKIP karena universitas tidak menerima mereka. Lulus dari IKIP pun IP (indeks prestasi) nya pas-pasan karena sekolah ini tidak sesuai niat atau panggilan hatinya. Kemudian ketika sudah diterima menjadi gurupun mengajar dengan setengah hati pula karena hati tidak sepenuhnya tertaut pada profesi guru. Mereka menganggap menjadi guru bukan profesi yang menjanjikan masa depan cerah. Akhirnya murid yang menjadi korban karena sang guru ini mengajar dengan ogah-ogahan; datang hanya formalitas, memenuhi kewajiban untuk absen yang sangat berguna dalam penghitungan gaji akhir bulan.

Guru model begini tidak ada persiapan matang untuk mengajar esok harinya; tidak menguasai metodik didaktik, tidak sabar mengajar, mudah marah ringan tangan enteng kaki untuk mencederai murid. Itu salah satu sebab mengapa sering kita dengar murid tawuran, berkelahi (bahkan sampai tewas) antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Profesi guru yang harus dihormati turun pamornya di mata para murid, karena ulah guru sendiri yang tidak dapat menjaga kewibawaan guru. Mereka tidak tergolong yang berpredikat pahlawan tanpa tanda jasa.

Generasi Pejuang Pembangunan

Sa’at ini sesudah 52 tahun merdeka maka dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November, tugas kita sebagai generasi penerus bangsa yang mewarisi nilai-nilai kepahlawanan dan terutama semangat juang mereka, para orangtua kita (ketika mereka merebut kemerdekaan dan mengisinya pula dengan karya-karya nyata yang berguna bagi nusa bangsa); adalah meneruskan perjuangan itu dengan membangun negeri ini sesuai keahlian masing-masing dengan niat karena Allah dan Rasul-Nya semata agar kita tidak hanya mampu mensejajarkan diri dalam bidang fisik, iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) dengan bangsa-bangsa yang telah maju tetapi juga melebihi mereka dalam bidang imtaq (iman dan taqwa), sehingga kitapun tergolong hamba-Nya yang kelak ditempatkan di sorga Adn.

Firman Allah SWT yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah lebih baik bagi kamu kalau kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu kedalam sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam sorga Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (Ash-Shaf : 10 – 12)

Waladzikrullahi Akbar.

Jum’at, 6 Rajab 1418 H – 7 November 1997.

Note : Kupersembahkan untuk ayahku sekaligus pahlawanku dan guruku.

Selasa, 13 Juli 2010

MERDEKA - Yang Wajib Kita Syukuri

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur'an, Allah SWT berfirman ; Artinya : "Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memberitahukan, "Sungguh jika kamu bersyukur, niscaya Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkarinya, sungguh azab-Ku sangat keras". (Ibraahiim : 7)

Setiap tgl 17 Agustus kita ber tafakur, mengheningkan cipta atas jasa para pahlawan yang telah rela berkorban harta, jiwa, tenaga maupun pemikiran-pemikirannya untuk turut merebut kemerdekaan kita sebagai bangsa, negara bersatu, berdaulat. Kita juga ber tasyakur atas kemerdekaan yang telah dicapai ini karena kemerdekaan yang menjadi hak segala bangsa itu adalah karunia nikmat dari Allah semata. Orang bijak mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghormati jasa pahlawannya. Pahlawan-pahlawan itu sebagian di antaranya ada orang tua kita sendiri dan yang pasti adalah nenek moyang kita yang telah berjuang sejak tiga setengah abad sebelum hari proklamasi kemerdekaan tahun 1945.

Di antara mereka itu, paling besar jumlahnya adalah umat Islam Indonesia yang dimotori oleh para ulama, kyai dan santrinya yang menurut catatan sejarah, secara langsung maupun tidak sangat besar jasanya dalam meruntuhkan kolonialisme di bumi Nusantara ini. Karena perlawanan itulah maka di tiap daerah Nusantara ada pahlawan sebagai bukti bahwa kita berjuang untuk menentang penjajahan dan berjuang merebut kemerdekaan. Kita generasi sesudah perang kemerdekaan ‘45 mengenal mereka pahlawan kusuma bangsa itu melalui sejarah yang diajarkan di sekolah.

Semangat juang ‘45 adalah semangat jihad fisabilillah.

Tanpa mengecilkan jasa pahlawan yang lain, kita dapat melihat pada satu foto/film dokumenter tentang perjuangan para pemuda melawan penjajah dalam peristiwa heroik 10 November di Surabaya. Foto/film tersebut menunjukkan aksi pemuda Bung Tomo yang berapi-api membakar semangat juang dan jihad para arek Suroboyo melalui radio dengan takbir “Allahu Akbar”. Siapa umat Islam yang tidak tergetar hatinya pada sa’at itu, ini terbukti dari lamanya perang itu berkobar dan dengan turut sertanya para pejuang tidak hanya dari Surabaya saja tetapi juga dari daerah lainnya. Allahu Akbar, tergetar hati ini ketika mendengar dan membayangkan suasana pada sa’at itu. Gema takbir itu terasa masih terngiang sampai sekarang. Allahu Akbar, Allah Maha Besar.

Pada hari-hari ini menjelang detik-detik proklamasi, siapapun dia yang hidup di bumi pertiwi ini, apakah dia bangsa Indonesia asli atau bukan, sudah sepantasnya turut memperingati, mensyukuri walaupun dengan cara dan keyakinannya masing-masing, karena tanpa hari yang bersejarah itu kita sekarang ini tidak dapat merasakan nikmatnya hidup di alam kemerdekaan di bawah pemerintahan bangsa sendiri.

Sebagai satu bangsa dan satu umat yang tahu bersyukur, kita tidaklah pantas mengatakan bahwa hidup di bawah orang asing itu lebih tertib dan teratur bila dibandingkan dengan bangsa sendiri. Satu pepatah Inggris mengatakan : “Right or wrong is my country”. Tidak selamanya yang baik bagi orang lain akan baik pula bagi kita. Justru kita harus bangga bahwa inlander, bangsa tempe ini, mampu merdeka dengan melawan kolonialis yang bersenjata modern hanya berbekal senjata apa adanya serta ditambah semangat jihad dan semboyan “Merdeka atau Mati”. Memang, melihat kenyataan itu kita pantas dan wajib untuk bersyukur kepada Allah SWT, karena kemenangan itu adalah atas pertolongan-Nya jua. Apalagi Allah telah memerintahkan kepada kita sebagaimana firman-Nya ; Artinya : "Dan adapun nikmat Tuhanmu hendaklah kamu menyebut-nyebut nya (dengan bersyukur)". (Adh Dhuha : 11).

Syukur itu ciri dari iman.

Bersyukur itu ciri orang mukmin yang merupakan akhlaqul karimah ajaran Nabi SAW. Bersyukur cara Nabi SAW antara lain yaitu dengan memanfa’atkan nikmat itu di jalan kebaikan. Banyak sekali nikmat karunia dari Allah, tidak terhitung. Tidak ada yang mampu menghitung nikmat-nikmat yang diterimanya setiap hari.

Coba saja, berapa kenikmatan yang kita dapat dari satu tarikan nafas? Berapa banyak para pahlawan kita yang tidak sempat merasakan merdeka karena tidak mendapat karunia bernafas lagi. Coba yang terlihat sepele, rambut bulu mata. Berapa besar karunia yang kita terima dari satu helai saja rambut bulu mata yang hitam itu? Adakah yang pernah memikirkan manfa’atnya dan kemudian mensyukurinya?

Firman Allah SWT ; Artinya : "Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, kamu tidak dapat menghitungnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (An Nahl : 18)

Tidak terhitung banyaknya; tetapi aneh, hanya sedikit kita bersyukur dan sedikit pula manusia yang mau mensyukuri nikmat itu secara baik dan halal. Kemerdekaan yang kita peringati ini juga adalah bagian dari karunia Allah. Tetapi di antara kita ada yang mengisi acara syukur itu dengan acara semarak dangdut berpenyanyi yang pakaian dan goyang pinggulnya erotis membakar darah muda dan mengundang nafsu syahwat. Astaghfirullahal-Azhim.

Paling parah lagi ada yang mengisi kemerdekaan itu dengan pekerjaan yang berbau maksiat, seperti mendirikan lokalisasi wts, perjudian, diskotik (yang akrab dengan khamr : minuman keras, narkotik; akrab pula dengan hubungan sex bebas); mengizinkan pendirian pabrik dan peredaran minuman keras dengan alasan agar terawasi. Benarkah? Kita sudah seringkali mendengar betapa mudah orang membunuh, memperkosa, merampok; yang mana si pelakunya sedang mabok. Padahal perintah Allah hendaklah kita ambil dan kerjakan yang baik-baik saja, itulah salah satu tanda orang yang bersyukur atas karunia nikmat dan sebagai manifestasi dari iman ; Artinya : "Hai sekalian orang-orang yang beriman, makanlah dari yang baik-baik yang Kami rezekikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah jika hanya kepada-Nya kamu menyembah". (Al Baqarah : 172).

Memang benar sedikit sekali kita bersyukur, dibandingkan dengan apa yang telah kita nikmati ; Artinya : "Dan sungguh Kami telah menempatkan kamu di bumi dan Kami jadikan di dalamnya penghidupan bagi kamu. Sedikit sekali kamu bersyukur". (Al A'raaf : 10)

Kegunaan syukur.

Urgensi syukur adalah agar Allah ridha, sehingga nikmat itu tidak terputus, langgeng, tetap awet bahkan akan ditambahi lagi, sesuai hadits Nabi SAW : "Sesungguhnya Allah ridha kepada seorang hamba yang setiap makan dan minumnya memuji Allah (atas karunia yang diberikan kepadanya)". (HR. Muslim)

dan firman Allah SWT ; Artinya : "Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memberitahukan, "Sungguh jika kamu bersyukur, niscaya Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkarinya, sungguh azab-Ku sangat keras". (Ibraahiim : 7)

Nabi SAW telah memberikan resep, cara agar kita menjadi termasuk golongan orang yang bersyukur : "Perhatikanlah orang yang (nasibnya) berada di bawah kamu. Demikian itu lebih baik, agar kamu tidak memperkecil nikmat Allah yang dikaruniakan kepadamu". (HR. Ibnu Majah)

Bahkan Nabi yang maksum dikenal paling banyak bersyukur (sikap ini harus dicontoh), sehingga dalam riwayat kaki Beliau menjadi bengkak, dan lalu seorang sahabat bertanya :
"Ya Rasulullah, apakah engkau masih mengerjakan ibadah seperti ini, padahal bukankah engkau telah diampuni dosa-dosanya?" Rasulullah SAW berkata : "Apakah tidak patut bila aku ingin menjadi hamba yang bersyukur?"

Agar kemerdekaan yang telah dicapai ini mendapat ridha Allah, terpelihara, bahkan negara kita menjadi adil, makmur sesuai cita-cita bangsa seperti tercantum dalam UUD ‘45 dan Pembukaan; maka hendaklah kita syukuri dengan cara antara lain mengisinya dengan pembangunan rohani dan jasmani berdasar imtaq (iman dan taqwa) dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang memberi maslahat bagi seluruh rakyat Indonesia.

Cita-cita masyarakat adil makmur itu antara lain yaitu :

(1) Penuh keadilan yang makmur, yaitu keadilan yang ditegakkan bagi seluruh rakyat.
(2) Kemakmuran yang adil, yaitu kemakmuran yang dirasakan oleh seluruh rakyat, dan
(3) Seluruh rakyat mendapat hak dan kewajiban menegakkan keadilan dan kemakmuran.

Itulah konsep sederhana tentang masyarakat adil dan makmur yang masih ingin kita raih pada saat ini, pada tahun kemerdekaan RI yang ke 52.

Waladzikrullahi Akbar.

Jum'at, 11 Rabiul Akhir 1418 H - 15 Agustus 1997

MURAQABAH - Allah Ada Dimana-mana

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur'an, Allah SWT berfirman ; Artinya : "Dan Dia-lah Allah (yang disembah) di langit dan di bumi. Dia mengetahui yang kamu rahasiakan dan yang kamu nyatakan dan mengetahui apa yang kamu usahakan". (Al An'aam : 3)

Media cetak maupun tv pada awal Juli ‘97 yang lalu ramai memberitakan masalah korupsi. Topik ini sempat hangat juga saat kita masih dalam masa kampanye pemilu yang lalu. Menurut Menpan TB Silalahi, korupsi ini hanya bisa dihapus di sorga (Harian Republika, Rabu, 9 Juli 1997, hal. 2). Kemudian diberitakan pula bahwa satu lembaga konsultan asing bernama Political And Economy Risk Consultans (PERC) telah membuat laporan bahwa ada indikasi negara kita adalah negara paling korup di Asia. Dan diberitakan juga pernyataan dari Badan Pengawas Keuangan (BPK) bahwa pada semester I tahun 96/97 terdapat 33 (tiga puluh tiga) kasus korupsi yang merugikan negara sampai senilai Rp.585,05 miliar. Suatu angka yang sungguh sangat fantastis bila dibandingkan dengan dana untuk daerah tertinggal (IDT). Kemudian ditulis bahwa sebenarnya Indonesia sudah memiliki undang-undang anti korupsi yaitu UU No.3/1971; UU tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Masya Allah. Mengapa ya, koq bisa terjadi. Siapa dan apanya yang salah? Kenapa mereka tidak takut, padahal sanksinya ada.

Sebagai umat Islam, kita tahu bahwa hal itu adalah karena kesalahan kita juga, karena kita lebih cinta dunia daripada akhirat. Kecintaan kita kepada dunia telah mengalahkan kegairahan diri kita terhadap keridhaan Allah, sehingga kita berani melanggar rambu-rambu larangan-Nya dan menjauhi perintah-Nya. Padahal ajaran Islam itu menyuruh sebaliknya yaitu hendaklah kita mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Korupsi itu bersaudara kandung dengan mencuri; keduanya sama-sama merugikan orang lain dan sama-sama dilaknat. Beda secara garis besar adalah dari pekerjaan atau jabatan si personal yang melakukannya. Korupsi dilakukan oleh orang yang diangkat atau dipercaya untuk menjalankan suatu tugas, baik oleh lembaga negara maupun swasta. Dia melakukan korupsi tidak hanya dalam bentuk uang atau harta saja tetapi juga dalam bentuk lain seperti waktu, fasilitas yang ada, menerima suap, menggunakan jabatan dan wewenang untuk kepentingan diri pribadi, keluarga serta kerabat (conflict of interest), dll.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, korupsi berarti penyelewengan, penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Mencuri berarti mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi. Bagai mana sanksi hukuman yang diberikan kepada mereka? Islam memberikan hukuman had kepada pencuri dengan memotong tangannya sebatas pergelangan tangan kanan bagi orang lelaki atau perempuan berusia baligh, yaitu bila dia terbukti mencuri dengan nilai mencapai seperempat dinar yakni sama dengan satu mitsqal mata uang emas murni (Lihat Surah Al Maidah : 38 dan Kitab Fiqh Fat-hul Mu’in).

Kelihatan kejam hukum Islam itu, tetapi kalau kita pelajari hikmah yang terkandung di dalamnya maka sebenarnya tidak karena had ini akan membuat orang tidak berani untuk berbuat. Bagaimana dengan hukuman bagi koruptor? Mestinya dapat hukuman yang lebih berat, apalagi yang disikat mencapai milyaran rupiah. Dalam hal ini perlu dikaji hadist dari Rasulullah SAW sbb : “Jamin aku dengan enam hal, dan aku akan jamin engkau dengan surga : Bila seorang di antara kalian berkata, dia tak boleh berkata bohong; bila dia dipercaya (diberi amanat), dia tak boleh berkhianat; bila dia berjanji, dia tidak boleh ingkar; engkau harus menahan tanganmu (dari berbuat dosa); engkau tidak boleh mencari-cari persoalan; dan engkau harus menjaga kemaluanmu (kehormatanmu)”.

Dari hadist di atas yang bernama pencuri, penipu, pengkhianat dan ingkar janji itu dapat dipegang rangkap oleh seorang koruptor. Jadi sungguh berat sebenarnya hukuman bagi seorang koruptor daripada seorang pencuri. Tetapi bagaimana kenyataan yang kita hadapi sekarang dengan menggunakan hukum dunia buatan manusia? Tergantung pada situasi dan kondisi jaksa yang menuntut dan juga hakim yang mengadili.

Yang terpenting bagi kita saat ini adalah bagaimana cara mencegah diri agar tidak terjerat oleh kedua kejahatan itu? Islam mengajarkan agar kita melakukan muraqabah. Melakukan mawas diri dengan selalu menjadikan Allah SWT sebagai Pengawas. Cara ini akan menyebabkan diri kita tetap terpelihara dan terhindar jauh dari perbuatan yang dilarang-Nya karena kita merasakan Allah ada di mana-mana dan selalu ada mengawasi seluruh gerak rohani jasmani kita. Dia mengetahui segala sesuatu, walaupun hal itu dirahasiakan jauh di lubuk hati kita nan dalam, demikian Allah SWT berfirman ; Artinya : "Dan Dia-lah Allah (yang disembah) di langit dan di bumi. Dia mengetahui yang kamu rahasiakan dan yang kamu nyatakan dan mengetahui apa yang kamu usahakan". (Al An'aam : 3)

Artinya : "Dan ketahuilah sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun". (Al Baqarah : 235)

Untuk itu kita harus selalu ingat-ingat bahwa apapun yang kita perbuat akan di catat dan pada sa’atnya dibukakan untuk dilihat lagi pada hari akhir kelak dan Allah itu menghitung segala sesuatu tanpa ada yang tertinggal, demikian difirmankan Allah SWT ; Artinya : "Dan diletakkan kitab (buku amal), lalu engkau melihat orang-orang berdosa itu ketakutan dari apa-apa (yang tertulis) padanya dan mereka berkata : "Wahai celakanya kami, mengapakah kitab ini tidak (melupakan) yang besar dan yang kecil melainkan dihitung semuanya. Dan mereka mendapat apa-apa yang telah dikerjakannya itu hadir (tercatat). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seseorang". (Al Kahfi : 49)

Rasulullah SAW telah mengingatkan pula bahwa janganlah kita terjang larangan Allah walaupun ketika itu sedang sepi sendirian, karena hal itu akan menghilangkan pahala kebaikan : "Sungguh saya mengetahui beberapa kaum dari umatku datang pada hari kiamat kelak dengan membawa kebaikan-kebaikan seperti gunung Tihamah yang putih, lalu Allah menjadikan kebaikan-kebaikan itu (seperti) debu yang beterbangan. Adapun mereka itu adalah saudara-saudaramu, dan dari jenis kulitmu, dan menjadikan malamnya sebagaimana kamu menjadikannya, akan tetapi mereka adalah kaum yang apabila sepi (menyendiri) dengan hal-hal yang diharamkan oleh Allah, mereka menerjangnya". (HR. Ibnu Majah)

Abul Qasim al Junaidi ketika menguji para santrinya untuk bermuraqabah telah menyuruh mereka mengadakan rihlah rahasia di padang pasir dan meminta mereka agar menyembelih burung di tempat sepi yang tidak ada seorangpun dapat melihatnya. Hanya seorang saja yang tidak mampu untuk melaksanakannya, karena katanya Allah SWT selalu ada di mana-mana bersamanya.

Bahkan Sayidina Umar bin Khattab RA pun pernah terperangah ketika menguji iman seorang budak kecil yang menjadi penggembala ternak kambing melalui "jual beli" tanpa sepengetahuan si majikan pemilik ternak. Jawaban anak itu sungguh mengharukan ketika dikatakan bahwa majikannya tidak akan tahu bila dikatakan kambingnya dimakan serigala; dan lalu si anak berkata : " Allah ada dimana ?". (Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin).

Qashash (Kisah) yang telah diceritakan di atas adalah untuk meneguhkan hati, sebagai pengajaran dan peringatan agar kita tidak lengah dalam meniti jembatan menuju keridhaan Allah.

Allah SWT telah berfirman ; Artinya : "Dan segala yang Kami ceritakan kepadamu dari cerita rasul-rasul yang dengannya Kami kuatkan hatimu, dan dalam cerita ini telah datang kepadamu kebenaran, pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman". (Huud : 120)

Anda dapat memetik hikmah dari kisah tersebut, menjadi pelajaran sehingga selalu istiqomah, secara tetap dan terus menerus, teguh, disiplin dalam berbagai ketaatan kepada Allah, melaksanakan perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya baik dalam terang maupun gelap, dalam keramaian maupun dalam kesendirian dan selalu melakukan muhasabah (introspeksi) tentang amal-amal yang lalu, karena Nabi SAW telah berpesan : "Orang yang cerdik adalah orang yang menghitung-hitung (kekurangan) dirinya dan beramal untuk bekal nanti sesudah mati. Dan orang yang lemah adalah orang yang memperturutkan nafsunya untuk memenuhi segala keinginannya dan mengangan-angankan ampunan kepada Allah Ta'ala (tanpa dibarengi dengan amal perbuatan)". (Dalam Tanbihul Ghafilin)

Biasakanlah selalu untuk berbuat amal kebaikan dengan mengerjakan yang disunnahkan di samping yang wajib (yaitu menjauhi larangan-Nya dan mematuhi perintah-Nya), baik ketika sendiri maupun ketika disaksikan, karena setiap kebaikan akan dibalas dengan kebaikan pula.

Firman Allah SWT ; Artinya : "Dan barangsiapa mengerjakan kebaikan, Kami tambahkan kebaikan kepadanya; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penerima syukur". (Asy Syuuraa : 23)

Rasulullah SAW bersabda : "Allah Ta'ala berfirman (Dalam hadits Qudsi) : "Siapa saja yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku nyatakan perang kepadanya. Sesuatu yang paling Aku sukai dari yang dikerjakan hamba-Ku untuk mendekatkan diri (taqarub) kepada-Ku, yaitu apabila ia mengerjakan apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Seseorang itu senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan mengerjakan amalan-amalan sunnah, sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku merupakan pendengaran yang ia pergunakan untuk mendengar, Aku merupakan penglihatan yang ia pergunakan untuk melihat, Aku merupakan tangan yang ia pergunakan untuk menyerang dan Aku merupakan kaki yang ia pergunakan untuk berjalan. Seandainya ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya, seandainya ia berlindung diri kepada-Ku, niscaya Aku melindunginya". (HR. Bukhari)

Barangsiapa yang membiasakan dirinya memelihara perintah Allah dan larangan Allah maka akan dirasakannya bahwa Allah selalu ada besertanya. Inilah sikap ihsan yang sempurna, merasakan bahwa Allah selalu hadir dan mengawasinya.

Diriwayatkan bahwa Jibril AS bertanya kepada Rasulullah SAW perihal arti ihsan (berbuat baik). Beliau SAW lalu menjawab dengan sabdanya : “Hendaklah engkau menyembah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya dan jikalau engkau tidak dapat seolah-olah melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia itu melihatmu” (HR. Muslim).

Rasulullah SAW juga bersabda :"Peliharalah (perintah dan larangan) Allah, niscaya kamu akan selalu merasakan kehadiran-Nya. Kenali lah Allah ketika senang, niscaya Allah akan mengenali ketika kamu kesulitan. Ketahuilah, apa yang luput dan apa yang akan mengenaimu pasti tidak akan meleset dari kamu". (HR. Turmudzi)

Adapun cara yang telah diajarkan Nabi SAW, hendaklah berusaha sekerasnya menjaga pandangan mata dalam upaya menjauhi dan menghindari perbuatan yang dilarang-Nya, sesuai sabda Rasulullah SAW dengan membawakan firman Allah dalam hadits Qudsi : "Pandangan mata adalah panah beracun dari antara panah-panah iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada-Ku maka Aku ganti dengan keimanan yang dirasakan manis dalam hatinya". (HR. Hakim).

Jangan karena pandangan itu hati jadi tergoda kepada kesenangan duniawi, sebab segala bentuk kesenangan ataupun kenikmatan yang kita lihat gemerlapan di dunia ini adalah ujian bagi mereka yang menikmatinya, demikian Allah SWT telah berfirman ; Artinya : "Dan janganlah engkau tujukan penglihatanmu kepada yang Kami beri kesenangan dengannya berbagai golongan dari mereka berupa perhiasan kehidupan dunia, supaya Kami menguji mereka padanya, sedang rezeki Tuhanmu lebih baik dan kekal". (Thaahaa : 131)

Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menceritakan bahwa ada seseorang bertanya kepada Junaid : “Dengan jalan apakah aku dapat menolong diriku sendiri supaya dapat memejamkan mata?”. Junaid lalu menjawab : “Yaitu supaya engkau menginsafi bahwa pandangan Dzat yang melihat padamu itu lebih dulu penglihatan-Nya daripada pandanganmu pada sesuatu yang hendak kau lihat itu”.

Agar pandangan kita menghasilkan rasa syukur atas nikmat karunia Allah, maka hendaklah melihat kepada yang lebih rendah dari kita (dari segi kekayaan yang dimiliki), demikian Rasulullah SAW telah bersabda : “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian dan janganlah melihat hal yang lebih tinggi dari kalian, karena hal tersebut lebih mendorong kalian untuk tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan kepada kalian”. (HR. Ibnu Majah)

Dan Allah mengingatkan bahwa rasa syukur kepada-Nya akan mendapat tambahan nikmat pula sesuai firman-Nya ; Artinya : "Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memberitahukan, "Sungguh jika kamu bersyukur, niscaya Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkarinya, sungguh azab-Ku sangat keras". (Ibraahiim : 7)

Untuk menambah kedekatan diri kepada Allah, maka ingatlah akan mati dan mengingat apa yang ada dibalik kematian; pertanyaan dalam kubur, siksa kubur, hari hisab dan siksa neraka; maka nikmat dunia ini akan menjadi hambar dan upaya ini akan membawa kita pada maqam (tingkatan) orang yang zuhud. Syaikh Abdul Qadir Jailani memberi petuah kepada para muridnya : “Wahai pencari yang jauh dari rumah, wahai musafir yang tersesat di hutan belantara takdir! Engkau perlu membereskan kamar pribadimu. Jangan tinggalkan di dalamnya dirham maupun dinar, dan adapun barang-barang perhiasan, engkau memiliki cukup dengan kunci ada di kantungmu. Engkau perlu mengosongkan hatimu dari dunia ini, dari selera hawa nafsu dan perhatian yang remeh. Hendaknya hati hanya diisi dengan dzikir dan tafakur, dengan mengingat mati dan mengingat apa yang terjadi di balik kematian. Di dalamnya engkau harus mengamalkan alkemi (kimiya’) membatasi harapan. Engkau harus katakan, “Aku sudah mati”, karena tindakan menjadi murni melalui pengurangan harapan (qashrul-amal). Jika engkau terlalu banyak berharap, maka engkau akan berupaya membuat kesan pada orang di sini, dan bersikap munafik terhadap orang itu di sana. Orang yang telah dapat membatasi harapan, maka dia terpisah dari segala sesuatu, terputus hubungan dengan segalanya. Dia mengenakan pakaian kezuhudan, kemudian pakaian peniadaan (fana’), lalu pakaian pengalaman hakiki (ma’rifah)”. (Malfuzhat Syaikh Abdul Qadir Jailani)

Sikap zuhud yang diajarkan dalam Islam bukanlah dengan menolak sama sekali kenikmatan dunia itu, tetapi hendaklah memilikinya sesuai kebutuhan atau dengan cara tidak berlebih-lebihan. Dengan demikian zuhud adalah kebalikan dari tamak, rakus dan serakah. Penyakit tamak, rakus, serakah inilah yang mendorong seseorang itu menjadi koruptor.

Imam Al Ghazali menyatakan bahwa zuhud adalah menghindarkan diri dari segala keinginan jiwa yang tidak patut apalagi terlarang dan beralih kepada sesuatu yang lebih baik dan lebih utama, karena menyadari bahwa yang harus ditinggalkan tadi adalah suatu yang hina dan tercela sedang yang dipakai adalah yang mulia dan terpuji.

Dalam Al Qur’an disebutkan ada tujuh macam benda-benda dunia yang perlu dizuhudi, sesuai firman-Nya ; Artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga)". (Aali 'Imraan : 14)

Kemudian di dalam Al Qur’an juga disebutkan bahwa barangsiapa yang dapat mengekang nafsunya dari keinginan yang hina maka surga adalah tempatnya.
Firman Allah SWT ; Artinya : “Dan ada pun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga itulah tempat tinggal (nya)”. (Surah Nazi’at 40-41)

Sekiranya kita umat Islam ini dapat melaksanakan ajaran Islam dengan benar dan murni sesuai dengan Al Qur’an dan Hadist, maka pasti tidak akan tersesat jalannya dan kita pun tidak akan pernah mendengar ada seorang koruptor yang Muslim.

Hasbiyallaahu laa ilaaha illaa huwa 'alaihi tawakkaltu wa huwa rabbul 'arsyil 'azhiim - "Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'arasy yang agung". (At Taubah : 129);

Jadikanlah ayat tersebut merupakan bacaan wirid pada tiap pagi dan sore apabila mendapat kesulitan dalam urusan dunia maupun akhirat, karena Rasulullah SAW telah berpesan demikian : "Barangsiapa berkata setiap hari ketika memasuki waktu pagi dan ketika memasuki waktu sore : Hasbiyallaahu laa ilaaha illaa huwa 'alaihi tawakkaltu wa huwa rabbul 'arsyil 'azhiim - 7 kali, Allah akan mencukupinya dalam hal-hal yang menyulitkannya, berupa urusan dunia dan akhirat". (HR. Abu Dawud, Ibnu Asakir dan Ibnu Suni)

Waladzikrullahi Akbar.

Jum'at, 27 Rabiul Awal 1418 H - 1 Agustus 1997

SHABAR - Jalan Ke Surga

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur'an, Allah SWT berfirman ; Artinya : "Dan orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, sungguh akan Kami tempatkan mereka pada tempat yang tinggi di surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik balasan orang-orang yang beramal. Yaitu orang-orang yang shabar dan bertawakkal kepada Tuhannya". (Al 'Ankabuut : 58-59)

Saat ini kita masih dalam bulan Rabiul Awal, yang mana pada lebih kurang 15 abad yang lampau pada bulan ini telah lahir Rasul terakhir dengan membawa risalah ajaran Islam; agama tauhid (monotheisme, yang hanya percaya pada Tuhan Yang Ahad) untuk semua umat manusia apapun derajat pangkat, suku bangsanya di muka bumi ini. Membahas maulid Nabi SAW tentu tidak dapat terlepas dari pengkajian mengenai kehidupan pribadi Beliau yaitu tentang etika, perilaku atau adab dan akhlaq Nabi. Setiap orang muslim wajib menela’ah adab dan akhlaq Nabi serta menjadikannya sebagai teladan yang baik (uswatun hasanah), sesuai firman Allah SWT ; Artinya : "Sungguh pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kamu, bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan hari kemudian dan banyak mengingat Allah". (Al Ahzaab : 21)

Artinya : "Barangsiapa taat kepada Rasul, maka sungguh dia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa berpaling, maka Kami tidak mengutus engkau sebagai penjaga atas mereka". (An Nisaa' : 80)

Banyak cerita dan kisah kehidupan Nabi yang sampai detik ini masih sesuai, relevan, untuk dijadikan bahan pelajaran, bahan renungan bahkan tentunya untuk dijalankan. Masih relevan, karena memang Beliau sebagai Nabi penutup diutus untuk umat akhir zaman.

Tentang akhlaq Beliau, pada suatu ketika ada seseorang bertanya kepada istri Beliau yaitu Siti ‘Aisyah ra dan dijawab bahwa akhlaqnya Nabi itu adalah Al Qur’an. Jawaban singkat, padat, tidak membutuhkan penjelasan panjang lebar. Nabi SAW sebagai penerima wahyu (Al Qur’an) tangan pertama dari Allah dan Malaikat-Nya Jibril, pasti, tak pelak lagi Beliau tentu saja sangat hafal dengan isi kandungan Al Qur’an; dan bukan sekedar hafal saja, tetapi juga mengamalkan isi ajaran Al Qur’an itu secara penuh dan konsekwen sesuai dengan sifat-sifat Beliau sebagai Rasul (siddiq, tabligh, amanah, fathonah).

Sikap shabar.

Salah satu akhlaq Beliau yang sangat pantas untuk dijadikan teladan adalah keshabarannya. Apalagi pada zaman ini, dimana kalau kita baca melalui media surat kabar, majalah atau kita menonton acara tv dan film bioskop (bahkan sebagian dari kita ada yang dapat menyaksikan sendiri kejadiannya secara live show and true story), tentang peristiwa-peristiwa yang semuanya selalu berkisar pada masalah kekerasan; adu kuat otot dan fisik; pembunuhan; pencurian dengan kekerasan (curas), dll.

Kita sama-sama tahu bahwa kekerasan perangai dari seseorang itu adalah antara lain karena hawa nafsu dalam diri yang tidak dapat dikendalikan, tidak adanya unsur shabar dalam diri orang itu.

Diriwayatkan dalam sejarah Rasulullah SAW bahwa pada suatu ketika Beliau pergi menyampaikan dakwah ke negeri Tha’if. Perjalanan dakwah ke Tha’if ini juga tidak semudah seperti di tempat-tempat lainnya. Di Tha’if, Beliau ditolak dan bahkan dilempari batu hingga melukai diri Beliau. Ketika sedang istirahat di suatu tempat maka saat itu datanglah malaikat yang menyatakan kesediaannya untuk menimpakan gunung ke atas negeri Tha’if agar mereka binasa. Tetapi Nabi menolaknya dan bahkan Beliau berdo’a agar kelak anak cucu mereka menjadi muslim. Itulah sikap shabar yang dicontohkan Nabi SAW kepada kita; dianiaya tetapi justru berdo’a untuk kebaikan bagi yang menganiaya.

Dari kisah di atas dapat dijadikan teladan bahwa shabar dalam Islam tidaklah sama dengan bersikap diam atas suatu peristiwa karena takut dan tidak pula harus dengan melakukan balas dendam atas penganiayaan yang telah diterima, bahkan harus tetap berbuat baik kepada orang yang telah menganiaya dengan mendo’akan kebaikan baginya. Islam adalah agama shilaturahim yang mengajak umat untuk menebarkan sikap shabar bersama sikap kasih sayang dalam berinteraksi sosial, berhubungan dengan makhluk yang lain.

Batas keshabaran.

Sering kita dengar seseorang yang sedang kesal, marah mengatakan : “Sudah habis keshabaranku; cukup tiga kali saja dia berbuat seperti itu kepadaku !”, dimana seolah-olah sikap shabar itu hanya sampai tiga kali saja dan sesudah itu boleh membalas atau berbuat sesuatu sebagai tanda bahwa dia sudah tidak bisa menahan kesabarannya. Keliru, sebab Rasulullah SAW tidak pernah memberi contoh seperti itu. Bagi yang mengerti maka perilaku shabar itu tidak ada batasnya. Karena perilaku shabar mereka itu adalah dalam rangka mengharap ridha Allah.

Shabar itu jalan ke surga.

Shabar itu hendaklah dalam segala situasi dan kondisi karena semua peristiwa adalah cobaan dan dengan itu keimanan seorang hamba Allah sedang diuji, demikian Allah SWT berfirman : Artinya : "Dan sungguh Kami akan mencoba kamu dengan sesuatu dari ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan, dan sampaikanlah berita gembira kepada orang yang shabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, "Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami kembali". (Al Baqarah : 155-156)

Sebagai orang yang mengaku sebagai pengikut Rasulullah SAW, hendaklah kita hiasi akhlak diri dengan sikap shabar karena sikap shabar itu adalah salah satu jalan menuju pintu surga, sesuai firman Allah SWT ; Artinya : "Dan orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, sungguh akan Kami tempatkan mereka pada tempat yang tinggi di surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik balasan orang-orang yang beramal. Yaitu orang-orang yang shabar dan bertawakkal kepada Tuhannya". (Al 'Ankabuut : 58-59)

Sahabat Nabi, Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata : "Ya Rasulullah, nasihatilah saya". Sabda Rasulullah SAW : "Jangan engkau marah" Lalu laki-laki itu mengulangnya beberapa kali dengan ucapan yang sama dan jawaban Rasulullah SAW tetap : "Jangan engkau marah". (HR. Bukhari)

Begitu sangat sulit memang untuk mengendalikan nafsu marah, sehingga Nabi SAW pun tak urung sampai merasakan perlunya untuk menasihati berulang-ulang. Sifat mudah marah akan menjadi azab karena merugikan diri sendiri dan orang lain, serta lingkunganpun dapat ikut rusak akibat kemarahan yang tidak terkendali. Itulah sebabnya Rasulullah SAW juga telah bersabda : "Barangsiapa jauhkan marahnya, niscaya Allah jauhkan daripada nya akan azab-Nya". (HR. Thabrani)

Bershabar, derajat pahalanya oleh Rasulullah SAW disamakan dengan derajatnya orang yang bershaum yang mengerjakan shalat malam : "Sesungguhnya dengan keshabaran itu seorang muslim akan dapat memperoleh derajat orang yang bershaum yang berdiri mengerjakan shalat malam" (HR. Thabrani).

Bahkan Allah SWT telah menyatakan bahwa perilaku shabar dan plus mema’afkan adalah sangat diutamakan bagi seorang muslim ; Artinya : "Tetapi barangsiapa yang shabar dan suka mema’afkan, sungguh hal yang demikian itu termasuk hal yang diutamakan". (Asy Syuuraa : 43)

Seandainya kita umat Islam ini dapat mencontoh perilaku Nabi secara penuh dan benar, tentu saja tidak akan pernah terdengar ada peristiwa kerusuhan yang terjadi seperti di Situbondo, Pekalongan dan Tasikmalaya serta tempat-tempat lainnya.
Sesuai petunjuk dalam Al Qur’an yaitu apabila ada kesulitan dalam hidup ini; daripada berbuat kerusuhan dan keonaran yang dapat merugikan orang banyak (baik harta maupun jiwa) maka lebih baik bershabar dan sholat (do’a).

Firman Allah SWT ; Artinya : “Dan mohonlah pertolongan dengan shabar dan sholat; dan sesungguhnya sholat itu berat, kecuali atas orang-orang yang khusyu’, yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menjumpai Tuhan mereka dan sesungguhnya mereka akan kembali kepada-Nya”. (Al Baqarah : 45-46)

Berdo’a, memohon kepada Allah agar diberi keshabaran dalam menghadapi segala macam persoalan, seperti do’anya Thalut dari Bani Israil (sesudah wafatnya Nabi Musa as), ketika dia beserta tentaranya berhadapan dengan Jalut musuhnya dan tentaranya : “Rabbanaa afrigh 'alainaa shabraw wa tsabbit aqdaa-manaa wan shurnaa 'alal qaumil kaafiriin - Wahai Tuhan kami, limpahkanlah keshabaran atas kami, dan tetapkanlah pendirian kami terhadap kaum yang kafir" (Al Baqarah : 250)

Atau do’anya para ahli sihir Fir’aun ketika mereka berbalik melawan Fir’aun sesudah mereka dikalahkan Nabi Musa as dan kemudian kembali beriman kepada Tuhannya (Allah SWT) : “Rabbanaa afrigh ‘alainaa shabraw wa tawaffanaa muslimiin - Wahai Tuhan kami limpahkanlah keshabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan muslim”. (Al A’raaf : 126)

Waladzikrullahi Akbar.

Jum'at, 20 Rabiul Awal 1418 H - 25 Juli 1997

MAULID - Rahmat Bagi Alam

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur'an Allah SWT berfirman ; Artinya : “Dan (ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata, "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan apa yang sebelumnya dari Taurat pemberi kabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang sesudahku namanya Ahmad". Maka tatkala datang dia kepada mereka dengan keterangan-keterangan, mereka berkata, "Ini adalah sihir yang nyata". (Ash Shaff : 6)

Manakala balatentara gajah Abrahah datang dengan congkak hendak menghancurkan Ka'bah Rumah Allah, maka pada saat itu pula seluruh alam sedang menantikan lahirnya seorang putra Arab pilihan, dari bani Quraisy; yang beritanya telah dimuat di dalam Taurat dan Injil yang diturunkan berturut-turut kepada Nabi Musa as dan Nabi Isa as, untuk disampaikan kepada kaum Bani Israil, agar mereka beriman kepadanya.

Allah SWT berfirman ; Artinya : “Yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul Nabi yang ummi, yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka; dia menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari yang mungkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan atas mereka segala yang kotor dan melepaskan dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan besertanya, mereka itulah orang-orang yang beruntung". (Al A'raaf : 157)

Ahmad, demikian tercantum nama Beliau SAW di dalam Taurat. Nama yang tidak umum digunakan oleh orang sebelumnya. Nama yang berarti terpuji karena nama yang baik itu merupakan pecahan atau turunan dari salah satu asma Allah, yaitu Al Hamiid.

Allah SWT berfirman ; Artinya : “Dan (ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata, "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan apa yang sebelumnya dari Taurat pemberi kabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang sesudahku namanya Ahmad". Maka tatkala datang dia kepada mereka dengan keterangan-keterangan, mereka berkata, "Ini adalah sihir yang nyata". (Ash Shaff : 6)

Nama itu memang sesuai dengan sifat dan watak beliau dimana di dalam sejarah telah terbukti bahwa walaupun kaum Yahudi atau Bani Israil itu sangat membenci beliau sehingga mereka ingin untuk membunuhnya seperti yang telah dilakukan kepada nabi-nabi mereka tetapi Beliau menghadapi sikap mereka dengan keshabaran yang tiada bandingnya. Sikap terpuji itu pulalah yang menghantarkannya ke jalan yang sukses dalam menjalankan misi dakwah.

Ulul azmi yang tidak tertandingi keluhuran akhlaknya (Akhlak ul kharimah), kesabarannya, kesederhanaan, kekeluargaan dan kemurahan hatinya oleh siapapun.

Allah SWT berfirman ; Artinya : “Maka karena rahmat dari Allah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka, sekiranya engkau berlaku keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Maka maafkanlah mereka dan mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam sesuatu urusan. Maka apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal". (Aali 'Imraan : 159)

Dengan bekal akhlak Al Qur'an, Beliau diutus sebagai Rasul penutup untuk membawa berita gembira dan peringatan bagi seluruh umat manusia di akhir zaman. Tidak hanya bagi bangsa Arab atau kaum Bani Israil saja (sebagai penerus dan penyempurna serta sekaligus penutup dari risalah yang dibawa oleh rasul-rasul sebelumnya seperti Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as dan Nabi Isa as), tetapi juga bagi seluruh bangsa di muka bumi ini, bahkan sampai ke bangsa jin sekalipun.

Allah SWT berfirman ; Artinya : “Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk seluruh manusia, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". (Saba' : 28)

Artinya : “Muhammad tiadalah bapak salah seorang dari laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (Al Ahzaab : 40)

Lahir pada tahun Gajah (20 April 570 Masehi), Senin 12 Rabiul Awal di Mekkah dalam keadaan yatim. Kedatangan beliau ditandai dengan kehancuran balatentara gajahnya Abrahah yang dilontari batu panas oleh burung-burung yang datang dengan bergelombang atau berbondong-bondong (ababil).

Firman Allah SWT dalam Al Fiil ayat 1-5 ; Artinya : “Apakah tidak engkau perhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap pasukan bergajah?. Apakah Dia tidak menjadikan tipu daya mereka itu sia sia, dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah yang dibakar, maka Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)”. (Al Fiil : 1-5)

Ini adalah suatu pratanda bahwa Beliau SAW datang untuk menghancurkan yang batil dan menegakkan yang haq. Hal ini didukung oleh firman Allah SWT di dalam banyak ayat di dalam Al Qur’an.

Allah SWT berfirman ; Artinya : “Sesungguhnya Kami telah mengutus engkau (Muhammad) dengan kebenaran sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan engkau tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang penghuni-penghuni neraka”. (Al Baqarah : 119)

Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan sebenarnya, supaya engkau menghukum antara manusia dengan apa yang telah Allah perlihatkan kepadamu. Dan janganlah engkau menjadi pembela bagi orang-orang yang berkhianat”. (An Nisaa’ : 105)

Kemudian di dalam ayat-ayat dan surah-surah yang lain dalam firman-Nya, Allah SWT menyampaikan ultimatum, memberi ancaman bagi orang-orang yang ingkar atas kebenaran yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW

Firman Allah SWT ;

Artinya : “Hai sekalian manusia, sungguh telah datang Rasul (Muhammad) kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu ingkar, maka sesungguhnya milik Allah apa yang di langit dan di bumi. Dan Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (An Nisaa’ : 170)

Artinya : “Itulah ayat-ayat Allah, Kami bacakan kepadamu dengan benar, maka dengan perkataan mana lagi mereka mau beriman, sesudah (kalam) Allah dan keterangan-keterangan-Nya?”. (Al Jaathiyah : 6)

Masa kecil Beliau tidaklah dimanja dan bermanja kepada orangtua, karena sejak dari bayi beliau dibawa ke daerah pedusunan Arab Baduwi, disusui dan diasuh oleh Halimah sampai berusia 5 tahun. Pada usia 6 tahun menjadi yatim piatu karena ibu yang tercintapun (Aminah) yang baru saja beliau rasakan kasih dan sayangnya menyusul ayah Beliau yang bernama Abdullah ke hadlirat Allah. Kini tinggallah Beliau dengan kakeknya yang gagah berani ketika menghadapi Abrahah; Abdul Muthalib yang dikenal sebagai pemuka Bani Quraisy, yang dipercaya menjadi penjaga Ka’bah, Baitullah.

Ketika Beliau baru dilahirkan adalah Abdul Muthalib pula yang membawanya ke Ka'bah sebagai tanda syukur dan kemudian memberinya nama dengan Muhammad, karena Abdul Muthalib menginginkannya menjadi orang yang terpuji, bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi. Ketika usia delapan tahun, lengkap pulalah penderitaan beliau karena Abdul Muthalib yang sangat menyayanginya wafat pula. Lalu, beliau diasuh oleh pamannya Abu Thalib yang sangat menyayanginya pula dan Abu Thalib juga sangat dihormati di kalangan bani Quraisy.

Inilah sebagian dari kisah Nabi SAW pada 15 abad lalu, yang setiap tahunnya hendaknya selalu diingat dengan tulus, dibacakan dan menjadi pelajaran serta teladan (uswatun hasanah) dan dita’ati oleh setiap insan muslimin dan muslimat, yang mengharap rahmat Allah SWT.

Allah SWT berfirman :

Artinya : “Sungguh pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kamu, bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan hari kemudian dan banyak mengingat Allah". (Al Ahzaab : 21)

Artinya : “Barangsiapa ta’at kepada Rasul, maka sungguh dia telah ta’at kepada Allah, dan barangsiapa berpaling, maka Kami tidak mengutus engkau sebagai penjaga atas mereka". (An Nisaa' : 80)

Dia, Rasulullah SAW dilahirkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil alamin).

Allah SWT berfirman ; Artinya : “Dan Kami tiada mengutusmu (Muhammad) melainkan rahmat bagi semesta alam". (Al Ambiyaa' : 107)

Dengan shalawat dan salam yang (seharusnya) selalu kita sampaikan kepada Beliau, minimal 5 kali dalam sehari semalam pada sa’at sholat fardhu, maka akan selamat pula kita kelak di hari yang tidak ada pertolongan kecuali syafa’at dari Rasulullah SAW.

Firman Allah SWT ; Artinya : “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Hai orang-orang yang beriman bershalawatlah kepadanya, dan berilah salam dengan sungguh-sungguh". (Al Ahzaab : 56)

Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa membaca shalawat untukku sekali bacaan maka Allah memberikan shalawat (rahmat) kepadanya sepuluh kali, barangsiapa membaca shalawat untukku sepuluh kali maka Allah memberi rahmat kepadanya seratus kali, barangsiapa membaca shalawat untukku seratus kali maka Allah mencatatnya tertulis di antara matanya kebebasan dari kemunafikan dan kebebasan dari neraka dan di hari kiamat ditempatkan bersama syuhada". (HR. At Thabrani)

Rasulullah SAW bersabda : "Terhinalah seorang lelaki apabila namaku disebut di hadapannya lalu ia tidak membaca shalawat untukku". (HR. Turmudzi)

Dari Aus ibnu Aus RA yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : "Sesungguhnya termasuk hari-hari kalian yang paling utama adalah hari Jumat, maka perbanyaklah oleh kalian membaca shalawat untukku pada hari itu. Sesungguhnya shalawat kalian ditampakkan di hadapanku. Mereka (para sahabat) bertanya : "Wahai Rasulullah, bagaimanakah shalawat kami ditampakkan di hadapanmu, sedangkan engkau telah hancur?" Perawi mengatakan bahwa Aus RA mengatakan : "Tulang-tulangmu telah hancur". Nabi SAW menjawab : "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan terhadap bumi, jasad para nabi". (HR. Abu Dawud, Nasaa'i dan Ibnu Majah)

Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, bahwa Nabi SAW bersabda : "Tiada do'a kecuali terdapat hijab diantaranya dengan diantara langit, hingga bershalawat atas Nabi SAW, maka apabila dibacakan shalawat Nabi, terbukalah hijab dan diterimalah do'a tersebut, namun jika tidak demikian, kembalilah do'a itu kepada pemohonnya". (Duratun Nasihin)

Diriwayatkan pula bahwa seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW : "Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami membaca shalawat atasmu ?". Beliau menjawab : "Bacalah Allaahumma shalli 'alaa Muhammad wa'alaa aali Muhammad, wabaarik 'alaa Muhammad wa'alaa aali Muhammad, kamaa shallaita wabaarakta 'alaa Ibraahiima wa'alaa aali Ibraahiim. Innaka hamiidum majiid - Wahai Allah, limpahkan rahmat atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad. Limpahkanlah barakah atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad; sebagaimana Engkau telah melimpahkan rahmat dan barakah atas Ibrahim dan atas keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Terpuji lagi Maha Agung". (Tanbihul Ghafilin)

Diriwayatkan pula bahwa Nabi SAW telah bersabda : "Orang utama yang mendapat syafa'atku di hari kiamat ialah, orang yang banyak bershalawat atasku".

Dari Anas RA, dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda : "Pada hari Kiamat orang-orang mukmin berkumpul, maka mereka berkata : "Seandainya kita memohon syafaat kepada Tuhan kita". Maka mereka mendatangi Adam dan berkata : "Engkau adalah ayah manusia, dimana Allah menciptakan kamu dengan tangan (kekuasaan)-Nya, Dia sujudkan malaikat-Nya kepadamu dan Dia ajarkan nama segala sesuatu kepadamu, maka berilah syafa’at kepada kami di sisi Tuhanmu, sehingga Dia memberi keenakan kepada kami di tempat ini". Adam berkata : "Aku bukanlah di situ (tempatnya)", kemudian menyebutkan dosanya dan diapun malu, "maka datanglah kalian kepada Nuh, karena dia adalah Rasul yang pertama kali diutus oleh Allah kepada penduduk bumi". Maka merekapun mendatanginya, kemudian dia berkata : "Aku bukanlah disitu (tempatnya)", lalu menyebutkan tentang permohonannya kepada Tuhan terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya, maka dia malu dan berkata : "Datanglah kalian kepada kekasih Allah (Ibrahim)". Maka mereka datang kepadanya, kemudian dia berkata : "Aku bukanlah disitu (tempatnya), datanglah kalian kepada Musa, seorang hamba yang Allah berfirman kepadanya dan diberiNya Taurat". Maka mereka mendatanginya, kemudian dia berkata : "Aku bukan disitu (tempatnya)". Dan dia menyebutkan tentang membunuh jiwa bukan karena jiwa, maka ia malu terhadap Tuhannya, dan menyatakan : "Datanglah kalian kepada Isa, seorang hamba Allah, Rasul-Nya, kalimat, Allah dan Roh-Nya (roh dari Allah)". Maka mereka mendatanginya, dan dia berkata : "Datanglah kalian kepada Muhammad SAW, seorang hamba yang Allah telah mengampuni dosanya terdahulu dan terkemudian". Maka mereka pun datang kepadaku, dan aku pergi sehingga mohon izin kepada Tuhanku dan hal itu diizinkan. Ketika aku melihat Tuhan, aku menyungkurkan diri untuk sujud dan Dia membiarkan aku selama waktu yang dikehendaki oleh Allah, kemudian dikatakan : "Angkatlah kepalamu dan bermohonlah, maka kamu akan diberi; berkatalah, maka akan didengar; dan mohon syafaatlah, maka kamu diperkenankan memberi syafaat". Maka aku mengangkat kepala dan memuji-Nya dengan pujian yang Dia ajarkan kepadaku, kemudian aku memberikan syafaat, dan Dia membatasi dengan suatu batas, maka aku memasukkan mereka ke surga, kemudian aku kembali kepada-Nya. Ketika aku melihat Tuhan seperti itu, kemudian aku memberi syafa’at dan Dia membatasi dengan suatu batas, maka aku memasukkan mereka ke surga. Kemudian aku kembali ketiga (kalinya), kemudian aku kembali keempat (kalinya), maka aku katakan : "Tidak ada orang yang tertinggal di neraka, kecuali orang yang ditahan oleh Al Qur'an dan orang yang wajib kekal di dalamnya. Yakni firman Allah Ta'ala : "Mereka kekal di dalamnya". (HR. Bukhari)

Dengan semangat jihad Nabi dan semangat yang terkandung dalam peristiwa maulid Nabi, mari tingkatkan iman Islam kepada Allah, kepada Rasul-Nya dengan meningkatkan kwalitas dan kwantitas komunikasi kepada Allah serta shalawat kepada Rasul-Nya melalui sholat agar kelak kita termasuk pada orang-orang yang mendapat syafa’atnya. Amin.

Jum'at, 6 Rabiul Awal 1418 H - 11 Juli 1997

PEKA LINGKUNGAN - Menjadi Penolong Orang Lain

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur'an, Allah SWT berfirman ; Artinya : “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (At Taubah : 71)

Rasulullah SAW diriwayatkan dalam satu hadist pernah bersabda bahwa fakir itu dapat berubah menjadi kafir : “Hampir saja kefakiran berubah menjadi kekufuran”. (HR. Atthabrani).

Membaca hadist tersebut saya teringat pada suatu kejadian pada tahun 1973 di suatu daerah yang banyak dihuni oleh para mahasiswa khususnya dari IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta, karena kebetulan daerah itu tetangga dekat kampus tersebut. Salah satu rumah yang bersebelahan dengan rumah kost para mahasiswa tersebut diisi oleh satu keluarga Muslim terdiri dari ibu, bapak dan beberapa orang anak. Anak yang paling tua seorang putri duduk di bangku perguruan tinggi swasta. Si bapak sudah tidak bekerja dan saat itu dalam kondisi sakit yang berlarut-larut. Sakit yang diderita adalah tuberculose (TBC) yang dikhawatirkan menular, sehingga orang takut bergaul dengan keluarga tersebut. Penyakit TBC ternyata tidak hanya menggerogoti tubuh si bapak, tetapi juga keuangan keluarga yang memang sudah di bawah garis pas-pasan.

Dalam keadaan seperti itu datang rohaniawan dari suatu agama non-Islam yang menawarkan jasa-jasa baiknya untuk membantu pengobatan dan biaya hidup keluarga tersebut. Singkat cerita karena sudah tidak mampu lagi untuk membiayai pengobatan dan biaya hidup sehari-hari maka akhirnya diterimalah bujukan si rohaniawan agar mereka beralih agama seperti yang dianut oleh rohaniawan tersebut. Keluarga itu murtad dari Islam, menjadi keluarga yang kafir hanya karena kefakirannya.

Sebenarnya tidak sedikit kasus seperti ini. Kalau rajin mengikuti berita-berita di majalah khusus umat Islam maka kisah seperti itu bukan hal yang aneh dan baru lagi. Orang menukar agama dari Islam menjadi Kristen dengan sebab yang sangat sepelepun bisa terjadi. Kristenisasi, iman Islam ditukar dengan sekotak mie instant sudahlah biasa. Kita tidak tahu sudah berapa banyak saudara kita yang Muslim telah murtad dengan cara seperti itu. Jangan dicari dalam berita media suratkabar atau majalah yang bersifat umum; tidak akan dimuat karena hal ini menyangkut SARA yang sangat peka; masalah kerukunan umat beragama di Indonesia yang dapat memecahkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa.

Tentu saja terbetik pertanyaan, koq ya bisa?, bagaimana ini sampai bisa terjadi? Bagaimana kwalitas iman Islam keluarga yang murtad itu (sebelum murtad)?. Apakah kefakiran harta membuat kefakiran pula dalam jiwa dan hatinya? Apakah kefakiran harta telah mencegahnya untuk mendapatkan ajaran ilmu agama? Bagaimana kwalitas iman dan tanggungjawab kita sebagai orang Muslim terutama yang bertetangga dengan mantan Muslim yang beralih agama tersebut?. Dalam konteks ini patut kita ingat pada hadist

Rasulullah SAW : “Tiada beriman kepadaku orang yang bermalam dengan kenyang sementara tetangganya lapar padahal dia mengetahui hal itu”. (HR. Al Bazzaar)

Rasulullah SAW juga bersabda : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tetangganya”. (HR. Bukhari, Muslim)

Firman Allah SWT menegaskan pula seperti termaktub di dalam surah At Taubah ayat 71 : Artinya : “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (At Taubah : 71)

Islam mengajarkan peka lingkungan.

Kalau kita kaji dari hadist dan ayat di atas, maka ajaran Islam penuh dengan pendidikan tentang moral dan etika, ajaran tentang adab dan akhlak manusia, tentang hubungan sosial dan ekonomi antara manusia yang satu dengan yang lain (hablum minannas), di samping hubungan dengan Allah (hablum minallah); ajaran yang tidak hanya peduli pada kepentingan pribadi tetapi juga peduli pada lingkungan keluarga, kerabat serta tetangga baik yang Muslim maupun non-Muslim.

Perintah yang wajib bagi umat Islam banyak yang mengandung hikmah atau manfaat bagi lingkungan. Sebagai contoh perintah berpuasa Ramadhan dan ditambah pula dengan puasa sunat bagi mereka yang suka melakukannya, berisikan hikmah pelajaran bahwa betapa tidak enak rasanya perut dalam keadaan lapar. Kalau kita orang mampu dan terbiasa makan tiga kali sehari, kemudian puasa dalam keadaan lapar hanya dalam tempo sebulan dan itupun hanya siang hari, kadang-kadang sudah merasakan lemah tiada daya maka bagaimana pula rasanya orang yang kelaparan, ingin makan tetapi tidak ada yang akan dimakan karena fakirnya? Mereka setiap harinya dalam keadaan “berpuasa” karena terpaksa. Jadi dengan puasa itu dapat dirasakan pedihnya lapar, merasakan pedih deritanya orang lapar. Dengan demikian hikmah puasa antara lain adalah membuat kita peka akan nasib orang fakir, peka terhadap penderitaan si miskin dan kepekaan itu dalam ajaran Islam diwujudkan dalam bentuk mengeluarkan zakat, infaq maupun sadaqah.

Amal tergantung pada iman dan niat.

Bagaimana dengan orang yang beramal, misal berpuasa tetapi puasanya tidak membuahkan kepekaan terhadap lingkungannya? Nah, ini perlu dipertanyakan apakah orang itu berpuasa dengan cara yang benar, baik dari niat maupun rukunnya. Apakah orang itu berpuasa dengan niat ikhlas karena mengharap ridha Allah semata sehingga selalu memelihara kesucian puasa dengan cara menjaga rukun dan sunah dalam puasa itu sendiri; ataukah dia berpuasa dengan maksud lain yang bukan karena Allah?

Bila seseorang beramal atau beribadah dengan niat karena Allah maka dapat dipastikan dia akan menjaga kelangsungan dan keutuhan serta kemurnian ibadah atau amaliahnya selama masih dalam proses pelaksanaan. Ketika puasa maka dia tidak akan berbohong, tidak melakukan ghibah (menggunjing orang lain), namimah (mengadu domba) ataupun bertengkar. Memang hal itu tidak membatalkan puasa tetapi menghilangkan pahala puasa. Ini berarti sia-sia bagi orang yang berpuasa dengan niat tidak karena Allah, dimana puasanya adalah bersifat riya’, untuk tujuan duniawi belaka. Orang itu tidak memperoleh pahala kecuali lapar dan haus saja yang dideritanya seperti yang telah disinyalir oleh Nabi SAW : “Banyak orang yang berpuasa, dimana yang diperoleh dari puasanya hanyalah lapar dan haus, dan banyak orang yang sholat malam, dimana hasil yang dia peroleh dari sholatnya hanyalah tidak tidur semalam”. (HR. Bukhari)

Rasulullah SAW juga menjelaskan dalam hadist beliau : “Barangsiapa yang tidak mau meninggalkan kata-kata bohong dan selalu memperbuatnya maka Allah tidak memperdulikan puasanya itu dimana ia telah susah payah meninggalkan makan dan minum”. (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

Beramal seperti itu adalah cermin iman yang belum mantap. Hasilnya, tidak ada pahala baginya dan tentu saja tidak dapat diharapkan menghasilkan kepekaan lingkungan daripadanya.

Jadi amal saleh yang baik hanya dapat diperoleh bila iman mantap; kemudian berniat amal, ikhlas karena Allah SWT semata; lalu dengan niat itu akan selalu berusaha agar amaliahnya tidak rusak sehingga tetap teguh dalam menjaga kemurnian amal ibadahnya. Salah satu tandanya, orang ini cinta ilmu. Dia selalu berusaha meningkatkan pengetahuan agamanya agar tidak salah langkah dan tidak terjerumus dalam bid’ah.
Dari orang mukmin yang beramal saleh seperti inilah diharapkan kepekaan lingkungan dapat dihasilkan; sesuai dengan dalil-dalil dalam Al Qur’an dan Al Hadist sbb :

1. Keimanan Yang Mantap

Firman Allah SWT ; Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (An Nahl : 97)

Diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda :

“Iman itu membenarkan dalam hati, mengatakan dengan lidah dan mengamalkan dengan anggota badan”. (HR. Ibnu Majah)

“Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman”. (HR. Atthabrani)

2. Niat karena Allah SWT semata.

Firman Allah SWT ; Artinya : “Barangsiapa menghendaki keuntungan akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barangsiapa menghendaki keuntungan dunia, Kami berikan sebagian dari keuntungan dunia kepadanya dan tidak ada baginya suatu bagianpun di akhirat” (Asy Syuuraa : 20)

Rasulullah SAW bersabda : “Bahwasanya semua amal itu tergantung niatnya, dan bahwasanya apa yang diperoleh oleh seseorang adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya itu hanya memperoleh apa yang diniatkannya dalam hijrahnya itu” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Ikhlas dan teguh dalam beramal.

Firman Allah SWT ; Artinya : “Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar”. (An Nisaa’ : 146)

4. Menuntut ilmu untuk kesempurnaan iman dan ibadah.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Sedikit ilmu lebih baik dari banyak ibadah. Cukup bagi seorang pengetahuan fiqhnya jika dia mampu beribadah kepada Allah (dengan baik) dan cukup bodoh bila seorang merasa bangga (ujub) dengan pendapatnya sendiri”. (HR. Atthabrani)

“Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, sedangkan seburuk-buruk urusan agama ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan tiap bid’ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka”. (HR. Muslim)

“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah Al Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW”. (HR. Muslim)

“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang maka dia diberi pendalaman dalam ilmu agama. Sesungguhnya memperoleh ilmu hanya dengan belajar”. (HR. Bukhari)

Orang Muslim seperti apakah kelak yang muncul dari 4 persyaratan diatas? Jawabnya adalah Muslim yang peka terhadap lingkungan. Apa tanda seorang Muslim yang peka terhadap lingkungan? Selalu berjihad fissabiilillah untuk menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi mungkar). Caranya bagaimana? Berpegang pada Al Qur’an dan Al Hadist sebagai pedoman dasar.

Firman Allah SWT ; Artinya : "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung". (Aali 'Imraan : 104)

Dalam suatu riwayat Rasulullah SAW bersabda : “Sebaik-baik pemberian adalah kalimat haq yang kamu dengar kemudian kamu membawanya kepada saudaramu sesama Muslim, lalu kamu mengajarkan kepadanya”. (HR. Atthabrani)

Ciri-ciri dari beramar ma’ruf nahi mungkar yang mereka lakukan adalah mereka tidak akan menyeru atau menyampaikan apa-apa yang tidak mereka perbuat. Mereka terapkan (amalkan) terlebih dahulu pada diri sendiri ilmu yang didapat baru mereka sampaikan kepada orang lain.

Firman Allah SWT ; Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kemurkaan di sisi ALLAH bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat". (Ash Shaff : 2-3)

Ciri lain dari amar ma’ruf nahi mungkar yang mereka laksanakan adalah dengan cara yang baik, lemah lembut dan tidak kasar.

Firman Allah SWT ; Artinya : “Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan secara sebaik-baiknya. Sesungguhnya Tuhanmu Dia lah yang lebih mengetahui orang-orang yang sesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang men dapat petunjuk”. (An Nahl : 125)

Firman Allah SWT ; Artinya : “Maka karena rahmat dari Allah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka, sekiranya engkau berlaku keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Maka ma‘afkanlah mereka dan mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam sesuatu urusan, Maka apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal”. (Aali Imraan : 159)

Mereka juga bersifat shabar, bersyukur, pema’af serta istighfar bila berbuat dosa atau kesalahan.

Rasulullah SAW bersabda : "Barang siapa diuji lalu bersabar, diberi lalu bersyukur, dizalimi lalu memaafkan dan menzalimi lalu beristighfar maka bagi mereka keselamatan dan mereka tergolong orang-orang yang memperoleh hidayah". (HR. Al Baihaqi)

Ciri yang utama adalah semua amalnya tersebut dilakukan karena Allah semata. Dalam hadist Qudsi diriwayatkan bahwa Allah SWT berfirman : “Tidak semua orang yang sholat itu bersholat. Aku hanya menerima sholatnya orang yang merendahkan diri kepada keagungan-Ku, menahan syahwatnya dari perbuatan haram larangan-Ku dan tidak terus menerus bermaksiat terhadap-Ku, memberi makan kepada yang lapar dan mengasihi orang yang terkena musibah dan menampung orang asing. Semua itu dilakukan karena Aku”. (HR. Adailami)

Kesalahan ummat Islam.

Kembali pada awal pembicaraan ini; yang mana sebenarnya hal itu tidak akan terjadi kalau kita orang Muslim itu mempunyai ciri-ciri seperti disebut di atas. Selama ini pengamalan ajaran Islam yang kita lakukan belumlah sempurna. Orang Muslim seharusnya saudara bagi Muslim lain, yang akan saling tolong bila diperlukan. Tetapi nyatanya ajaran Al Qur’an dan Hadist dianggap teori saja yang sulit untuk dipraktekkan, katanya.

Lihat saja berapa banyak jumlah saudara kita yang muslimah, tetapi baru sedikit yang memakai kerudung (jilbab). Alasannya macam-macam. Ada yang mengatakan belum pergi haji, masih mau hura-hura dulu, takut rambut rusak, takut dikatakan kuno, takut tidak punya teman dsbnya.

Dalam zaman ini orang cenderung egois dan akhirnya kikir; kikir segalanya. Ajakan shilaturahmi, berkomunikasi, interaksi dengan sesama makhluk secara kasih sayang, tinggal ajaran yang sulit diamalkan. Kekerasan terjadi dimana-mana, padahal Nabi SAW pernah bersabda : “Tidaklah sempurna keimanan seseorang dari kamu semua itu, sehingga ia mencintai saudaranya dengan sesuatu yang ia mencintai untuk dirinya sendiri”. (HR. Bukhari, Muslim)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda pula : “Setengah dari pada amalan-amalan yang amat dicintai oleh Allah ialah memasukkan kegembiraan dalam hati orang mukmin, melapangkan kesusahannya, mengembalikan hutang yang dimilikinya kepada orang lain atau memberi makan dari kelaparan”. (HR. Atthabrani)

Kita ribut dan marah mendengar adanya proses Kristenisasi, tetapi tidak berbuat apa-apa untuk mencegah. Padahal Islam telah mengajarkan agar menolong saudaranya orang Mukmin yang membutuhkannya, tetapi malah orang dari agama lain yang mengamalkannya kepada saudara kita yang Mukmin. Jadi kalau akan marah, marahlah pada diri sendiri, karena semua itu adalah kesalahan kita sendiri.

Kesalahan kita umat Islam antara lain adalah masih meributkan persoalan yang bersifat khilafiyah yang sebenarnya tidak perlu dipersoalkan. Misal masih ada perselisihan faham antara penganut suatu mazhab dengan mazhab lainnya. Pengikut suatu organisasi keagamaan dengan organisasi sejenis lainnya. Kalau organisasi Islam itu berskala kecil mungkin tidak ada pengaruh terhadap umat, tetapi bagaimana bila yang berselisih adalah organisasi kelas gajah. Suara mereka itukan terdengar kemana-mana. Kalau mereka berselisih faham, maka pelanduk (umat yang dhaif) yang bingung. Akhirnya karena asyik dengan perbedaan pendapat, maka gajah-gajah lupa pada fungsi untuk ber amar ma’ruf nahi mungkar. Rohaniawan dari agama lain melaksanakan fungsi tersebut dengan modal sekotak mie instant ditambah senyum serta ajaran kasih Kristus, maka murtadlah satu; dua orang atau satu keluarga Muslim.

Jadi kefakiran itu tidak saja dalam bentuk fakir harta saja tetapi juga fakir jiwa dan hati. Umat Islam yang berilmu adalah fakir jiwa dan hati bila tidak mengamalkan ilmu untuk menolong orang fakir harta. Umat Islam yang mampu, kaya adalah fakir jiwa dan hati bila tidak mentasyarufkan sebagian harta untuk menolong orang fakir harta. Fahamlah kita mengapa Nabi SAW telah bersabda bahwa kefakiran itu dapat berubah menjadi kekafiran.

Jakarta, 30 Muharam 1418 H - 6 Juni 1997

MASJID - Rumah Yang Kita Makmurkan

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur’an, Allah SWT berfirman: “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (At Taubah : 18)

Pekerjaan paling pertama kali yang dilakukan Nabi SAW ketika tiba di Yatsrib (Medinah) sesudah melakukan perjalanan nan jauh dan berbahaya (hijrah dari Mekah ke Medinah) bukanlah mendirikan istana mewah yang lengkap dengan segala isinya dan tentara pengawalnya untuk tempat tinggal dan berlindung bagi diri pribadi Beliau serta keluarganya, melainkan Masjid. Dan kini masjid di Medinah tersebut yang sudah berulang kali mengalami perbaikan dan perluasan, hingga sampai saat ini masih berdiri tegak, kokoh bahkan indah serta dikenal dengan nama masjid Nabawi (Masjid Nabi).

Masjid Nabawi yang sekarang sangat terasa sekali kemegahan, keindahan dan kekokohannya, sa’at awal pembangunannya di zaman Nabi SAW adalah suatu tempat ibadah yang sangat sederhana. Bermula dari sa’at ketika kedatangan Nabi Muhammad SAW di Yatsrib pada tahun 622 M (bulan Rabiulawal tahun pertama Hijriah), dimana kaum Muslimin dari golongan Anshar (orang Madinah) menawarkan kepada Beliau agar bersedia tinggal di tempat mereka. Tetapi secara bijaksana Beliau menolak dan menyerahkan keputusannya kepada untanya. Unta yang dinaiki Nabi SAW berhenti dan berlutut di tempat penjemuran kurma milik Sahl dan Suhail bin ‘Amr. Lalu kemudian tempat itu dibeli guna dipakai tempat membangun masjid. Dan sementara tempat itu dibangun, maka Nabi SAW tinggal pada keluarga Abu Ayyub Khalid bin Zaid al-Anshari.

Dalam membangun masjid tersebut Nabi SAW juga turut bekerja dengan tangannya sendiri. Kaum Muslimin dari kalangan Muhajirin (Penduduk Mekkah yang hijrah ke Medinah) dan Anshar (Penduduk Madinah) ikut pula bersama-sama membangun. Selesai masjid itu dibangun, di sekitarnya dibangun pula tempat tinggal Rasul. Baik pembangunan masjid maupun tempat tinggal Beliau itu tidak sampai memaksa seseorang, karena segalanya serba sederhana, disesuaikan dengan petunjuk-petunjuk Nabi SAW.

Masjid itu hanya merupakan sebuah ruangan terbuka yang luas dimana keempat dinding temboknya dibuat dari batu bata dan tanah. Atapnya sebagian terdiri dari daun kurma dan yang sebagian lagi dibiarkan terbuka. Belum ada menara yang berfungsi sebagai tempat adzan. Seruan adzan dilakukan di atas tembok. Pada salah satu bagian dalam masjid digunakan sebagai tempat orang fakir miskin yang tidak punya tempat tinggal yang disebut suffah. Kehidupan mereka ditanggung oleh umat yang mampu.

Di malam hari tidak ada penerangan dalam masjid tersebut. Hanya waktu shalat Isya diadakan penerangan dengan membakar jerami. Keadaan ini berjalan selama sembilan tahun. Sesudah itu kemudian baru mempergunakan lampu-lampu yang dipasang pada batang-batang kurma yang dijadikan penopang (tiang) atap masjid. Tempat tinggal Nabi sendiri, sebenarnya tidak lebih mewah keadaannya daripada masjid, meskipun lebih tertutup (Memang sudah sepatutnya). Setelah pendirian masjid dan tempat tinggal selesai, barulah Beliau pindah dari rumah Abu Ayyub dan kemudian mengerjakan langkah lanjut untuk kemajuan Islam yang mana semuanya berpusat di masjid Nabi tersebut.

Fungsi Masjid Masa Nabi

Istilah masjid berasal dari kata-kata sajada, yasjudu yang berarti bersujud, atau menyembah. Masjid sesuai dengan namanya adalah tempat beribadah kepada Allah SWT, khususnya untuk sholat. Namun masjid tidak digunakan untuk tempat sholat saja seperti sholat Jum’at, sholat lima waktu dan tarawih saja, tetapi digunakan juga untuk ibadah lain, untuk kegiatan syiar Islam, pendidikan agama dan kegiatan yang bersifat sosial. Kegunaan masjid sesungguhnya dapat dilihat pada sejarah masjid paling awal yaitu penggunaan masjid pada masa Nabi SAW tersebut serta di masa khalifah yang empat dan seterusnya.

Fungsi masjid selain sebagai tempat urusan keagamaan (sholat dll) juga sebagai tempat untuk urusan sosial dimana pada masa awal (di zaman Nabi SAW) sebagai tempat untuk shilaturahmi (mempererat hubungan) dan ikatan jama’ah Islam yang baru tumbuh. Nabi SAW mempergunakan masjid sebagai tempat pelajaran atau pendidikan agama yaitu tempat untuk menjelaskan wahyu yang diterimanya, memberikan jawaban atas pertanyaan yang disampaikan para sahabat tentang berbagai macam masalah, memberi fatwa, mengadakan musyawarah, menyelesaikan perkara-perkara dan perselisihan, tempat mengatur dan membuat strategi militer dan tempat menerima utusan-utusan dari daerah lain. Dan seperti disebutkan di atas masjid pada zaman Nabi SAW dan pada masa khalifah pengganti Beliau juga berfungsi untuk tempat tinggal bagi orang fakir miskin yang tidak memiliki rumah. Dapat kita bayangkan betapa sibuk dan ramainya suasana masjid pada masa Nabi SAW tersebut dengan segala macam kegiatan yang berkaitan dengan memajukan Islam.

Masjid Sekarang

Agama Islam sekarang sudah sangat jauh berkembang bila dibandingkan dengan masa awal pertumbuhannya. Sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan berbarengan dengan itu masjid-masjid juga banyak didirikan dimana yang ada umat Islamnya. Di Indonesia, negara yang paling banyak jumlah umat Islamnya maka jumlah masjid (termasuk mushola dan surau/langgar) pun diperkirakan sampai mencapai jumlah lebih dari satu juta buah. Boleh dikatakan di setiap pelosok ada masjid apalagi yang padat penduduknya sehingga dalam jarak beberapa ratus meter saja sudah ada masjid. Tetapi sayang, seiring kemajuan zaman, pertambahan jumlah masjid yang sangat banyak tersebut tidak pula diimbangi dengan peningkatan mutu (dalam fungsi dan pelayanan) nya.

Keinginan menggebu panitia pendiri masjid-masjid tersebut menyebabkan banyak masjid yang letaknya berdekatan dan akibat lainnya adalah tidak seimbang dengan jumlah jama’ah. Banyak masjid yang dalam keadaan tidak penuh ketika tiba sa’at sholat. Bahkan ada masjid dalam keadaan terkunci pintunya ketika tiba waktunya sholat, sehingga bagi orang yang akan sholat terpaksa melakukannya hanya di emperan. Sedangkan pengurus masjid yang seharusnya bertanggung jawab, tidak diketahui berada di mana dan rumahnyapun berada jauh dari masjid. Ada pula masjid yang mengalami ketidak hadiran imam dan khatib ketika waktu Jum’at karena pertumbuhan masjid yang besar ternyata tidak diimbangi pula dengan pertambahan imam dan khatib serta kurangnya pengetahuan pengurus tentang manajemen masjid.

Masjid yang mestinya didirikan atas dasar niat ikhlas karena beriman dan bertaqwa kepada Allah semata (tanpa ada embel-embel lain), sehingga seharusnya diramaikan oleh umatnya (sebagai tanda beriman), suasananya sepi. Orang yang bertetangga dengan masjidpun terlihat acuh saja dengan sepinya masjid, padahal seharusnya dialah yang paling bertanggungjawab bila masjid sepi. Dalam suatu hadits Rasulullah SAW bersabda : “Tidak ada sholat bagi tetangga masjid, selain dalam masjid.” (HR. Ad-Daruquthni)

Petugas yang tidak ada ditempatnya juga berakibat tidak terurusnya masjid dan fasilitas pendukungnya, misalnya tempat wudhu yang tidak bersih ataupun WC yang baunya menyengat tidak enak. Memang sungguh ironis, pelajaran fiqih pertama yang diberikan dalam Islam adalah thaharah yang berkaitan erat dengan masalah bersuci, dan tentang kebersihan tetapi justru masalah itu yang paling sering diabaikan. Masih banyak masjid yang tempat wudhunya berupa bak besar (tanpa keran air dan ciduk/gayung) dimana semua orang memasukkan tangannya ke dalam bak untuk berwudhu dan yang paling tidak sehat yaitu air bekas wudhu, bekas kumur-kumur masuk lagi ke dalam bak tersebut. Karena seperti itu cara berwudhunya, maka air bak pun berubah warna, rasa dan baunya. Menurut fiqih, jelas air seperti ini bukan lagi air yang suci dan lagi menyucikan, sehingga tidak memenuhi syarat untuk berwudhu. Pendiri dan para pengurus masjid (paling utama) serta jama’ah harus bertanggungjawab dengan masalah yang dihadapi masjidnya. Dalam hadits disebutkan : “Rasulullah SAW menyuruh kita membangun masjid-masjid di daerah-daerah dan agar masjid-masjid itu dipelihara kebersihan dan keharumannya.” (HR. Abu Dawud dan At Tarmidzi)

Membangun masjid adalah sesuatu yang mudah terbukti dengan banyaknya jumlah masjid, tetapi satu hal yang tidak mudah yaitu memelihara. Memelihara masjid termasuk juga dalam kegiatan memakmurkan masjid dalam arti kata yang luas. Memelihara masjid bukan hanya tugas pengurus masjid tetapi juga para jama’ah dan seluruh umat Islam. Pengurus masjid sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya sedangkan para jama’ah dan umat Islam lainnya adalah berupa dana infak agar pemeliharaan masjid dapat terlaksana secara terus menerus. Masjid memerlukan dana untuk air, listrik dan perbaikan bila ada kerusakan serta keperluan lain. Dengan demikian setiap rupiah yang di infakkan ke masjid adalah sangat besar artinya bagi masjid, bagi para jama’ah dan juga bagi orang yang berinfak itu sendiri. Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa menyingkirkan kotoran dari masjid, niscaya Allah akan membuat sebuah gedung untuknya di surga.” (HR. Ibnu Majah)

Waladzikrullahi Akbar

Jum’at, 9 Muharam 1421 H - 14 April 2000