Jumat, 16 Juli 2010

PAHLAWAN – Yang Sejati Tidak Ingin Dikenal

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur’an, Allah SWT berfirman ; Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah lebih baik bagi kamu kalau kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu kedalam sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam sorga Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (Ash-Shaf : 10 – 12)

Seorang ayah pemegang bintang gerilya, tanda jasa turut berjuang pada perang kemerdekaan, berkata pada anaknya bahwa apabila tiba sa’atnya kelak dia dipanggil menghadap kepada Allah maka kuburkanlah jasadnya di kampung bersebelahan dengan kedua orangtuanya yang telah mengukir jiwa raganya. Walaupun ada haknya ditempatkan di Makam Pahlawan tetapi beliau sama sekali tidak ingin karena bukan itu yang dicari waktu dulu berjuang melawan penjajahan. Bukan sanjungan, pujian dan bukan tanda-tanda jasa yang dikejarnya.

Bintang gerilya dan tanda anggota LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) yang disimpannyapun adalah hasil jerih payah teman yang menghormatinya dan bukan atas permintaan ataupun kemauannya sendiri, di sa’at banyak orang lain berlomba-lomba ingin memperolehnya (kalau perlu dengan cara apapun jadi) walaupun mereka itu bukanlah pejuang dan malah seringkali justru pengkhianat perjuangan.

Cerminan sosok pahlawan sejati yang tidak ingin dikenal sebagai bekas pejuang kemerdekaan ataupun sebagai pahlawan. Baginya berjuang bela negara melawan penjajah adalah suatu kewajiban yang harus dipikul oleh setiap anak bangsa. Bukan tindakan agar kelak dielu-elukan sebagai pemberani atau sebagai pahlawan atau sebagai orang yang dihormati dan kemudian kelak menuntut hak-hak atau fasilitas-fasilitas sebagaimana layaknya orang yang telah berjasa.

Amal Tergantung Niat

Kisah di atas adalah satu kejadian langka pada zaman di mana banyak orang sudah terkena polusi “ingin dihargai” dalam falsafah perjuangannya. Pantas saja Maslow, pakar ilmu jiwa, dalam teorinya menempatkan faktor ingin dihargai (Esteems) dalam salah satu hierarki, tingkatan kebutuhan manusia. Pendapat yang banyak dimanfa’atkan ilmu manajemen ini benar dan wajar ditinjau dari sudut perilaku kebiasaan manusia (human behavior), tetapi bagaimana dari sudut agama? Dalam suatu hadits Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya amal-amal perbuatan tergantung niatnya, dan bagi tiap orang apa yang diniatinya. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya untuk meraih kesenangan dunia atau menikahi wanita, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia hijrahi (tidak diterima oleh Allah).” (HR. Bukhari)

Kalau begitu sungguh beruntunglah mereka yang beramal, berjuang, berjihad dengan niat karena Allah dan Rasul-Nya; dengan niat menegakkan asma Allah, hukum Allah, ayat-ayat Allah dan agama Allah. Bagaimana dengan nasib orang yang berjuang dengan niat bukan karena Allah dan Rasul-Nya? Dalam suatu hadits diceritakan: “Sesungguhnya manusia yang pertama dihukumi pada hari Kiamat adalah seorang yang mati syahid, lalu ia dibawa, dikenalkan nikmatnya maka ia mengakuinya. Allah berfirman: “Apakah yang kamu lakukan padanya?”. Ia menjawab: “Saya berperang karena Engkau sehingga saya mati syahid”. Dia berfirman: “Kamu berdusta, tetapi kamu berperang agar dikatakan pemberani, dan itu telah dikatakan”. Kemudian ia diperintahkan. Lalu mukanya ditelungkupkan sampai ia dilemparkan dalam neraka. Dan seseorang yang belajar ilmu, mengajarkannya dan membaca Al Qur’an didatangkan. Lalu nikmat-nikmatnya dikenalkan dan ia mengakuinya. Allah berfirman: “Apakah yang kamu lakukan kepadanya?”. Ia menjawab: “Saya belajar ilmu, mengajarkannya dan membaca Al Qur’an karena Engkau”. Dia berfirman: “Kamu berdusta, tetapi kamu belajar agar dikatakan ‘Alim (pandai) dan kamu membaca Al Qur’an agar dikatakan Qari’ (pembaca Al Qur’an), itu telah dikatakan”. Kemudian diperintahkan terhadapnya, maka mukanya ditelungkupkan sehingga ia dilemparkan kedalam neraka. Dan seseorang yang dilapangkan dan diberi bermacam-macam harta didatangkan, lalu dikenalkan dan ia mengakuinya. Allah berfirman: “Apakah yang kamu amalkan kepadanya? Ia menjawab: “Saya tidak meninggalkan satu jalanpun yang Engkau sukai agar jalan itu dinafkahi melainkan saya nafkahi dengan harta itu karena Engkau”. Dia berfirman: “Kamu berdusta, tetapi kamu mengerjakan agar dikatakan Dermawan, dan itu telah dikatakan”. Kemudian ia diperintahkan, lalu mukanya ditelungkupkan kemudia ia dilemparkan ke dalam neraka”. (HR. Muslim, dll).

Pejuang Sejati Tak Akan Pernah Berhenti

Ungkapan dalam bahasa Inggris mengatakan The old soldier never die, yang berarti seorang pejuang atau seorang prajurit sejati tidak akan pernah berhenti dalam berjuang. Tidak kenal lelah dan tidak kenal menyerah. Seorang pejuang kemerdekaan tidak kenal kata berhenti dalam berjuang walaupun ketika kemerdekaan itu telah tercapai, karena dia akan tetap berjuang untuk mengisi kemerdekaan yang telah direbutnya dengan bersusah payah, yang harus dibayar mahal dengan harta bahkan darah dan nyawa sahabat-sahabatnya.

Coba lihat berapa banyak sekolah-sekolah atau pendidikan milik swasta yang didirikan sesudah perang usai oleh para pejuang? Adakah motivasi atau tujuan mereka itu karena mencari uang? Tidak. Mereka mendirikan sekolah dengan sederhana dan dana apa adanya; belajar cuma di bawah pohon dan niat mendidik anak-anak agar kelak menjadi orang, tidak mudah ditipu karena punya pengetahuan baca tulis dan berhitung. Mereka yang mengajarpun bukan tamatan sekolah guru. Hanya motivasi kuat agar anak-anak menjadi oranglah yang mendorongnya.

Biaya sekolahpun sangat-sangat murah sekali. Bila ada anak yang orangtua tidak mampu tetapi minat belajar ada maka mereka tetap diizinkan belajar dengan gratis. Inilah ciri sekolah jihad, sekolah para pejuang. Pejuang sejati, pahlawan sejati adalah yang selalu berjuang untuk bangsanya, tanpa henti, tanpa pamrih, atau niat agar kelak disanjung, dipuji dengan sebutan pahlawan.

Pada sa’at ini apabila sekolah-sekolah itu menjadi besar, baik fisik bangunan maupun jumlah murid maka itu adalah karena perkembangan zaman; misalnya a.l akibat pertambahan jumlah penduduk dan kemudian akibat kemajuan pembangunan maka meningkat pula pendapatan masyarakat dan kemudian meningkat pula kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang baik.

Jauh berbeda dengan sekolah-sekolah yang didirikan pada masa sekarang yang tumbuh subur menjamur; apalagi di kota-kota besar dengan embel-embel boarding school (murid di asrama), sekolah favorit atau unggulan yang buntutnya adalah keunggulan biaya yang sangat mahal, yang tidak mungkin terjangkau oleh kebanyakan orangtua murid. Sekolah masa kini sudah kehilangan idealismenya karena sudah terkena polusi motivasi bisnis, sarana mencari uang.

Demikian pula dengan kebanyakan guru sekarang ini di mana mengajar bukan dengan niat agar murid kelak menjadi orang berguna bagi nusa bangsa atau paling sedikit bagi dirinya sendiri (bagi murid itu), tetapi adalah untuk cari nafkah dan dia terpaksa menjadi guru. Terpaksa masuk ke sekolah guru seperti IKIP karena universitas tidak menerima mereka. Lulus dari IKIP pun IP (indeks prestasi) nya pas-pasan karena sekolah ini tidak sesuai niat atau panggilan hatinya. Kemudian ketika sudah diterima menjadi gurupun mengajar dengan setengah hati pula karena hati tidak sepenuhnya tertaut pada profesi guru. Mereka menganggap menjadi guru bukan profesi yang menjanjikan masa depan cerah. Akhirnya murid yang menjadi korban karena sang guru ini mengajar dengan ogah-ogahan; datang hanya formalitas, memenuhi kewajiban untuk absen yang sangat berguna dalam penghitungan gaji akhir bulan.

Guru model begini tidak ada persiapan matang untuk mengajar esok harinya; tidak menguasai metodik didaktik, tidak sabar mengajar, mudah marah ringan tangan enteng kaki untuk mencederai murid. Itu salah satu sebab mengapa sering kita dengar murid tawuran, berkelahi (bahkan sampai tewas) antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Profesi guru yang harus dihormati turun pamornya di mata para murid, karena ulah guru sendiri yang tidak dapat menjaga kewibawaan guru. Mereka tidak tergolong yang berpredikat pahlawan tanpa tanda jasa.

Generasi Pejuang Pembangunan

Sa’at ini sesudah 52 tahun merdeka maka dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November, tugas kita sebagai generasi penerus bangsa yang mewarisi nilai-nilai kepahlawanan dan terutama semangat juang mereka, para orangtua kita (ketika mereka merebut kemerdekaan dan mengisinya pula dengan karya-karya nyata yang berguna bagi nusa bangsa); adalah meneruskan perjuangan itu dengan membangun negeri ini sesuai keahlian masing-masing dengan niat karena Allah dan Rasul-Nya semata agar kita tidak hanya mampu mensejajarkan diri dalam bidang fisik, iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) dengan bangsa-bangsa yang telah maju tetapi juga melebihi mereka dalam bidang imtaq (iman dan taqwa), sehingga kitapun tergolong hamba-Nya yang kelak ditempatkan di sorga Adn.

Firman Allah SWT yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah lebih baik bagi kamu kalau kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu kedalam sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam sorga Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (Ash-Shaf : 10 – 12)

Waladzikrullahi Akbar.

Jum’at, 6 Rajab 1418 H – 7 November 1997.

Note : Kupersembahkan untuk ayahku sekaligus pahlawanku dan guruku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar