Selasa, 13 Juli 2010

MASJID - Rumah Yang Kita Makmurkan

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur’an, Allah SWT berfirman: “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (At Taubah : 18)

Pekerjaan paling pertama kali yang dilakukan Nabi SAW ketika tiba di Yatsrib (Medinah) sesudah melakukan perjalanan nan jauh dan berbahaya (hijrah dari Mekah ke Medinah) bukanlah mendirikan istana mewah yang lengkap dengan segala isinya dan tentara pengawalnya untuk tempat tinggal dan berlindung bagi diri pribadi Beliau serta keluarganya, melainkan Masjid. Dan kini masjid di Medinah tersebut yang sudah berulang kali mengalami perbaikan dan perluasan, hingga sampai saat ini masih berdiri tegak, kokoh bahkan indah serta dikenal dengan nama masjid Nabawi (Masjid Nabi).

Masjid Nabawi yang sekarang sangat terasa sekali kemegahan, keindahan dan kekokohannya, sa’at awal pembangunannya di zaman Nabi SAW adalah suatu tempat ibadah yang sangat sederhana. Bermula dari sa’at ketika kedatangan Nabi Muhammad SAW di Yatsrib pada tahun 622 M (bulan Rabiulawal tahun pertama Hijriah), dimana kaum Muslimin dari golongan Anshar (orang Madinah) menawarkan kepada Beliau agar bersedia tinggal di tempat mereka. Tetapi secara bijaksana Beliau menolak dan menyerahkan keputusannya kepada untanya. Unta yang dinaiki Nabi SAW berhenti dan berlutut di tempat penjemuran kurma milik Sahl dan Suhail bin ‘Amr. Lalu kemudian tempat itu dibeli guna dipakai tempat membangun masjid. Dan sementara tempat itu dibangun, maka Nabi SAW tinggal pada keluarga Abu Ayyub Khalid bin Zaid al-Anshari.

Dalam membangun masjid tersebut Nabi SAW juga turut bekerja dengan tangannya sendiri. Kaum Muslimin dari kalangan Muhajirin (Penduduk Mekkah yang hijrah ke Medinah) dan Anshar (Penduduk Madinah) ikut pula bersama-sama membangun. Selesai masjid itu dibangun, di sekitarnya dibangun pula tempat tinggal Rasul. Baik pembangunan masjid maupun tempat tinggal Beliau itu tidak sampai memaksa seseorang, karena segalanya serba sederhana, disesuaikan dengan petunjuk-petunjuk Nabi SAW.

Masjid itu hanya merupakan sebuah ruangan terbuka yang luas dimana keempat dinding temboknya dibuat dari batu bata dan tanah. Atapnya sebagian terdiri dari daun kurma dan yang sebagian lagi dibiarkan terbuka. Belum ada menara yang berfungsi sebagai tempat adzan. Seruan adzan dilakukan di atas tembok. Pada salah satu bagian dalam masjid digunakan sebagai tempat orang fakir miskin yang tidak punya tempat tinggal yang disebut suffah. Kehidupan mereka ditanggung oleh umat yang mampu.

Di malam hari tidak ada penerangan dalam masjid tersebut. Hanya waktu shalat Isya diadakan penerangan dengan membakar jerami. Keadaan ini berjalan selama sembilan tahun. Sesudah itu kemudian baru mempergunakan lampu-lampu yang dipasang pada batang-batang kurma yang dijadikan penopang (tiang) atap masjid. Tempat tinggal Nabi sendiri, sebenarnya tidak lebih mewah keadaannya daripada masjid, meskipun lebih tertutup (Memang sudah sepatutnya). Setelah pendirian masjid dan tempat tinggal selesai, barulah Beliau pindah dari rumah Abu Ayyub dan kemudian mengerjakan langkah lanjut untuk kemajuan Islam yang mana semuanya berpusat di masjid Nabi tersebut.

Fungsi Masjid Masa Nabi

Istilah masjid berasal dari kata-kata sajada, yasjudu yang berarti bersujud, atau menyembah. Masjid sesuai dengan namanya adalah tempat beribadah kepada Allah SWT, khususnya untuk sholat. Namun masjid tidak digunakan untuk tempat sholat saja seperti sholat Jum’at, sholat lima waktu dan tarawih saja, tetapi digunakan juga untuk ibadah lain, untuk kegiatan syiar Islam, pendidikan agama dan kegiatan yang bersifat sosial. Kegunaan masjid sesungguhnya dapat dilihat pada sejarah masjid paling awal yaitu penggunaan masjid pada masa Nabi SAW tersebut serta di masa khalifah yang empat dan seterusnya.

Fungsi masjid selain sebagai tempat urusan keagamaan (sholat dll) juga sebagai tempat untuk urusan sosial dimana pada masa awal (di zaman Nabi SAW) sebagai tempat untuk shilaturahmi (mempererat hubungan) dan ikatan jama’ah Islam yang baru tumbuh. Nabi SAW mempergunakan masjid sebagai tempat pelajaran atau pendidikan agama yaitu tempat untuk menjelaskan wahyu yang diterimanya, memberikan jawaban atas pertanyaan yang disampaikan para sahabat tentang berbagai macam masalah, memberi fatwa, mengadakan musyawarah, menyelesaikan perkara-perkara dan perselisihan, tempat mengatur dan membuat strategi militer dan tempat menerima utusan-utusan dari daerah lain. Dan seperti disebutkan di atas masjid pada zaman Nabi SAW dan pada masa khalifah pengganti Beliau juga berfungsi untuk tempat tinggal bagi orang fakir miskin yang tidak memiliki rumah. Dapat kita bayangkan betapa sibuk dan ramainya suasana masjid pada masa Nabi SAW tersebut dengan segala macam kegiatan yang berkaitan dengan memajukan Islam.

Masjid Sekarang

Agama Islam sekarang sudah sangat jauh berkembang bila dibandingkan dengan masa awal pertumbuhannya. Sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan berbarengan dengan itu masjid-masjid juga banyak didirikan dimana yang ada umat Islamnya. Di Indonesia, negara yang paling banyak jumlah umat Islamnya maka jumlah masjid (termasuk mushola dan surau/langgar) pun diperkirakan sampai mencapai jumlah lebih dari satu juta buah. Boleh dikatakan di setiap pelosok ada masjid apalagi yang padat penduduknya sehingga dalam jarak beberapa ratus meter saja sudah ada masjid. Tetapi sayang, seiring kemajuan zaman, pertambahan jumlah masjid yang sangat banyak tersebut tidak pula diimbangi dengan peningkatan mutu (dalam fungsi dan pelayanan) nya.

Keinginan menggebu panitia pendiri masjid-masjid tersebut menyebabkan banyak masjid yang letaknya berdekatan dan akibat lainnya adalah tidak seimbang dengan jumlah jama’ah. Banyak masjid yang dalam keadaan tidak penuh ketika tiba sa’at sholat. Bahkan ada masjid dalam keadaan terkunci pintunya ketika tiba waktunya sholat, sehingga bagi orang yang akan sholat terpaksa melakukannya hanya di emperan. Sedangkan pengurus masjid yang seharusnya bertanggung jawab, tidak diketahui berada di mana dan rumahnyapun berada jauh dari masjid. Ada pula masjid yang mengalami ketidak hadiran imam dan khatib ketika waktu Jum’at karena pertumbuhan masjid yang besar ternyata tidak diimbangi pula dengan pertambahan imam dan khatib serta kurangnya pengetahuan pengurus tentang manajemen masjid.

Masjid yang mestinya didirikan atas dasar niat ikhlas karena beriman dan bertaqwa kepada Allah semata (tanpa ada embel-embel lain), sehingga seharusnya diramaikan oleh umatnya (sebagai tanda beriman), suasananya sepi. Orang yang bertetangga dengan masjidpun terlihat acuh saja dengan sepinya masjid, padahal seharusnya dialah yang paling bertanggungjawab bila masjid sepi. Dalam suatu hadits Rasulullah SAW bersabda : “Tidak ada sholat bagi tetangga masjid, selain dalam masjid.” (HR. Ad-Daruquthni)

Petugas yang tidak ada ditempatnya juga berakibat tidak terurusnya masjid dan fasilitas pendukungnya, misalnya tempat wudhu yang tidak bersih ataupun WC yang baunya menyengat tidak enak. Memang sungguh ironis, pelajaran fiqih pertama yang diberikan dalam Islam adalah thaharah yang berkaitan erat dengan masalah bersuci, dan tentang kebersihan tetapi justru masalah itu yang paling sering diabaikan. Masih banyak masjid yang tempat wudhunya berupa bak besar (tanpa keran air dan ciduk/gayung) dimana semua orang memasukkan tangannya ke dalam bak untuk berwudhu dan yang paling tidak sehat yaitu air bekas wudhu, bekas kumur-kumur masuk lagi ke dalam bak tersebut. Karena seperti itu cara berwudhunya, maka air bak pun berubah warna, rasa dan baunya. Menurut fiqih, jelas air seperti ini bukan lagi air yang suci dan lagi menyucikan, sehingga tidak memenuhi syarat untuk berwudhu. Pendiri dan para pengurus masjid (paling utama) serta jama’ah harus bertanggungjawab dengan masalah yang dihadapi masjidnya. Dalam hadits disebutkan : “Rasulullah SAW menyuruh kita membangun masjid-masjid di daerah-daerah dan agar masjid-masjid itu dipelihara kebersihan dan keharumannya.” (HR. Abu Dawud dan At Tarmidzi)

Membangun masjid adalah sesuatu yang mudah terbukti dengan banyaknya jumlah masjid, tetapi satu hal yang tidak mudah yaitu memelihara. Memelihara masjid termasuk juga dalam kegiatan memakmurkan masjid dalam arti kata yang luas. Memelihara masjid bukan hanya tugas pengurus masjid tetapi juga para jama’ah dan seluruh umat Islam. Pengurus masjid sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya sedangkan para jama’ah dan umat Islam lainnya adalah berupa dana infak agar pemeliharaan masjid dapat terlaksana secara terus menerus. Masjid memerlukan dana untuk air, listrik dan perbaikan bila ada kerusakan serta keperluan lain. Dengan demikian setiap rupiah yang di infakkan ke masjid adalah sangat besar artinya bagi masjid, bagi para jama’ah dan juga bagi orang yang berinfak itu sendiri. Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa menyingkirkan kotoran dari masjid, niscaya Allah akan membuat sebuah gedung untuknya di surga.” (HR. Ibnu Majah)

Waladzikrullahi Akbar

Jum’at, 9 Muharam 1421 H - 14 April 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar