Minggu, 11 Juli 2010

HIJRAH - Relevansinya Saat Ini

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur’an, Allah SWT berfirman ; Artinya: "Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An Nisaa’ : 100)

Tidak terasa saat ini kita sudah menapaki tahun baru 1420 H. Rasanya baru kemarin kita melewati bulan Muharam 1419 H dan merenungkan hikmah dari hijrah Nabi SAW yang terjadi pada 1419 tahun yang lalu dan kini kita sudah berada lagi di bulan Muharam walaupun di tahun yang berbeda yaitu tahun 1420 H. tetapi semangat dari hijrah Nabi SAW yang terjadi pada 14 abad yang lalu itu masih tetap membakar kalbu kita umat Islam. Semangat hijrah Nabi SAW beserta para sahabat dan kaum Muhajirin masih tetap menyala-nyala di dalam hati karena tiap tahun di bulan-bulan Muharam itu kita selalu membahasnya dan merenungkan apa makna hijrah itu, terutama sekali kaitannya dan relevansinya (kesesuaiannya) dalam kehidupan kita pada saat ini.

Hijrah Di Masa Nabi SAW

Kata hijrah berarti penghindaran diri berasal dari kata hajara yang mempunyai arti : berpindah, meninggalkan, berpaling, dan tidak memperdulikan lagi. Menurut istilah fiqih, kata hijrah berarti menghindarkan atau menjauhkan diri atau pindah dari suatu tempat ke tempat lain (dalam arti kata sesungguhnya atau kiasan) untuk menghindarkan diri dari suatu bahaya, yang dilakukan karena Allah SWT dan Rasul-Nya. (Lihat ayat-ayat Al Qur’an yang berkenaan dengan masalah hijrah ini yaitu dalam surah Al Baqarah : 218; Ali Imraan : 195; An Nisaa’ : 89, 97, 100; Al Anfaal : 72, 74, 75; At Taubah : 20; An Nahl : 41, 110; Al Hajj : 58; An Nuur : 22; Al Hasyr : 8, 9; Al Mumtahanah : 10).

Hijrah yang dimaksud di atas adalah 2 (dua) peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi di masa Rasulullah SAW masih berada di Mekah (periode Mekah), yaitu :

1). Hijrahnya sebagian umat Islam dari Mekah ke negeri Habasyah yang bertujuan untuk menyelamatkan diri dari kezaliman orang kafir Quraisy.

2). Hijrahnya seluruh umat Islam dari Mekah ke kota Madinah (d/h Yatsrib) di mana termasuk didalamnya Nabi SAW. Tujuannya adalah menyelamatkan dakwah Islam yang sudah tidak dapat berkembang lagi di kota Mekah dan untuk mengatur strategi pejuangan Islam di masa mendatang. Hal ini ditandai dengan tiga hal yaitu :

Pertama sesampainya di Madinah, yang awal sekali dilakukan Nabi adalah mendirikan masjid sebagai pusat kegiatan ruhani, pemerintahan dan lainnya.

Kedua mempersaudarakan seluruh kaum Muslimin khususnya antara kaum Muhajirin (pendatang yang hijrah dari Mekah) dengan kaum Anshar (penduduk asli Madinah yang menolong perjuangan Islam).

Ketiga menyusun undang-undang dasar yang mengatur kehidupan kaum muslimin dan hubungan mereka dengan kaum lainnya terutama dengan kaum Yahudi.

Jadi peristiwa hijrah di zaman Nabi SAW di samping secara jasmaniah juga mengandung unsur hijrah ruhaniah. Yaitu pindah dari masa Jahiliyah ke masa Islam, pindah dari pemerintahan kafir di Mekah kepada pemerintahan Islam di Madinah. Dan peristiwa hijrah Nabi SAW pun merupakan titik awal dari kebangkitan Islam sesudah mengalami kesulitan selama 13 tahun di Mekah .

Peristiwa hijrahnya Nabi SAW dan sahabat tersebut karena berisi nilai-nilai perjuangan yang sangat besar sekali artinya dalam tegaknya dan tumbuhnya agama Islam dari sejak saat itu (dan sampai saat sekarang ini), maka 17 (tujuh belas) tahun kemudian oleh khalifah yang kedua yaitu Umar bin Khattab ra tahun peristiwa hijrah itu diadopsi (diabadikan) menjadi permulaan kalender Islam. Dengan demikian, jasa dari Khalifah Umar bin Khattab ra yang membuat kita setiap awal tahun baru Hijriah selalu mengingat dan merenungkan makna dari peristiwa hijrahnya Nabi SAW tersebut.

Hijrah di Masa Sekarang

Orang yang berhijrah pada zaman Nabi SAW tersebut bila di dasari karena Allah SWT dan Rasul-Nya maka dia akan mendapat ganjaran dari Allah SWT (Lihat An Nisaa : 100 di atas). Dengan demikian mereka hijrah baik secara jasmaniah dan secara ruhaniah yaitu berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya; percaya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sedangkan orang yang berhijrah dengan maksud dan tujuan lain selain dari Allah SWT dan Rasul-Nya maka orang itu hanya akan memperoleh apa yang diniatkannya itu. Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya amal-amal perbuatan tergantung niatnya, dan bagi tiap orang apa yang diniatinya. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya untuk meraih kesenangan dunia atau menikahi wanita, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia hijrahi.” (HR. Bukhari)

Bagaimana dengan “hijrah” pada zaman sekarang? Banyak pendapat para ulama yang berbeda.

Pertama, hijrah sudah tidak ada lagi (terhenti) setelah Fathu Mekah (penaklukan kota Mekah). Hal ini antara lain dikatakan dalam Syarah Muslim jilid 8 hal. 58.
Nabi SAW bersabda : “Tidak ada hijrah lagi sesudah fathu Mekah selain jihad, niat dan apabila diserukan berangkat (pergi berperang) maka berangkatlah.” (HR. Bukhari, Muslim)

Kedua, hukum hijrah tetap berlaku, tidak terhenti hingga hari Kiamat menurut pendapat umum ahli ‘ilmi. Hal ini terdapat dalam kitab Al Mughny jilid 9 halaman 282.

Dalam hal ini kedua pendapat di atas adalah benar karena masing-masing berdasarkan dalil-dalil yang kuat (Al Qur’an dan hadits). Yang perlu kita ambil adalah bahwa keduanya memiliki persamaan dalam ketentuan hijrah yaitu bila dikerjakan dengan dasar atau niat karena Allah SWT dan Rasul-Nya.

Zaman sekarang “hijrah” itu lebih bersifat ruhaniah yaitu perpindahan dari perilaku buruk kepada perilaku baik, dari selalu lupa Allah menjadi selalu mengingat Allah, dsbnya.

Kalau kita kaji surah An Nisaa ayat 100 di atas (“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, ….”) maka kata “rumah” di dalam ayat tersebut dapat diartikan dengan ego (rasa keakuan, diri pribadi) kita. Ego seseorang bila memiliki kadar tinggi akan berkonotasi (berarti) jelek atau tidak baik. Kata egois menunjukkan seseorang itu lebih mementingkan dirinya sendiri daripada kepentingan orang lain. Jelas sekali sikap egois tidak sesuai dengan ajaran Islam. Orang yang egois berarti dia terkurung di dalam “rumah” ego nya itu. Dia sulit bergaul dengan orang lain yang tidak bisa mengerti akan dirinya. Dia menghendaki orang lain menyesuaikan diri kepadanya dan bukan dia yang menyesuaikan diri kepada lingkungannya.

Sikap egois sering menimbulkan keributan dalam hubungan keluarga dan bertetangga. Suatu hubungan keluarga dan bertetangga dapat rusak karenanya. Kalau kemudian orang yang egois menyadari bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak menyukai perilaku itu dan kemudian dia berubah sikap maka orang itu telah melakukan “hijrah” ruhani.

Kelihatannya inilah yang perlu kita lakukan saat ini, ketika sebagian dari kita, tetangga kita mengalami krisis berkepanjangan. Banyak dari mereka yang perlu bantuan karena tidak mampu lagi mencari nafkah cukup untuk anak dan keluarganya. Apalagi untuk bersekolah sehingga anak-anak mereka yang kecil pun ikut mencari nafkah dengan cara-cara menjadi tukang asongan atau pengamen dan paling memilukan lagi menjadi pengemis.

Inilah saatnya keluar dari “rumah” ego yang telah mengurung kita dan lalu membantu para anak yatim dan saudara kita yang lemah ekonomi dengan mengeluarkan sebagian dari harta kita yang berlebih (Harta itu milik mereka yang dititipkan kedalam rezeki kita). Ini saatnya merubah sikap dan perilaku. Bila selama ini kita sangat mudah marah dengan hanya sebab yang sepele (hingga kemudian melakukan perusakan, pembakaran dan bahkan menghilangkan nyawa manusia), maka mengikuti ajaran Nabi SAW, kita berpaling menjadi orang penyabar, lemah lembut dan pemaaf.

Pergantian tahun hendaklah menjadikan kita lebih baik, lebih arif dari tahun sebelumnya karena pergantian tahun juga berarti umur kita bertambah dan masa (jatah) hidup di duniapun berkurang. Hidup di dunia ini hanya sementara dan kita ibarat musafir yang hanya berhenti sejenak untuk kemudian berjalan lagi menuju tempat tujuan akhir yaitu hidup di akhirat. Enak atau tidaknya hidup di akhirat merupakan akibat dari perilaku selama hidup di dunia. Bila kita beramal baik dan selalu berpegang teguh pada Al Qur’an dan hadits maka kita akan selamat meniti jalan menuju tempat akhir yang bahagia itu. Bila tidak maka kita akan tergelincir ke tempat yang seburuk-buruknya tempat tinggal. Demikian, semoga bermanfaat.

Waladzikrullahi Akbar

Jum’at, 7 Muharam 1420 H - 23 April 1999

3 komentar:

  1. Salah ustadz, Hijrah di zaman rosul adalah hijrah dari kepemimpinan/sistem thogut kepada kepemimpinan/sistem islam....
    Saat ini juga pengertian hijrah masih belum berubah... ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Assalamu'alaikum wrwb, Pak Bayu...sepertinya tidak ada yg salah...antara komentar Bpk dgn artikel di atas boleh dikatakan maksud/artinya sama, cuma beda dlm pemakaian kata.

      Hapus
  2. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus