Selasa, 13 Juli 2010

SHABAR - Jalan Ke Surga

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur'an, Allah SWT berfirman ; Artinya : "Dan orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, sungguh akan Kami tempatkan mereka pada tempat yang tinggi di surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik balasan orang-orang yang beramal. Yaitu orang-orang yang shabar dan bertawakkal kepada Tuhannya". (Al 'Ankabuut : 58-59)

Saat ini kita masih dalam bulan Rabiul Awal, yang mana pada lebih kurang 15 abad yang lampau pada bulan ini telah lahir Rasul terakhir dengan membawa risalah ajaran Islam; agama tauhid (monotheisme, yang hanya percaya pada Tuhan Yang Ahad) untuk semua umat manusia apapun derajat pangkat, suku bangsanya di muka bumi ini. Membahas maulid Nabi SAW tentu tidak dapat terlepas dari pengkajian mengenai kehidupan pribadi Beliau yaitu tentang etika, perilaku atau adab dan akhlaq Nabi. Setiap orang muslim wajib menela’ah adab dan akhlaq Nabi serta menjadikannya sebagai teladan yang baik (uswatun hasanah), sesuai firman Allah SWT ; Artinya : "Sungguh pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kamu, bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan hari kemudian dan banyak mengingat Allah". (Al Ahzaab : 21)

Artinya : "Barangsiapa taat kepada Rasul, maka sungguh dia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa berpaling, maka Kami tidak mengutus engkau sebagai penjaga atas mereka". (An Nisaa' : 80)

Banyak cerita dan kisah kehidupan Nabi yang sampai detik ini masih sesuai, relevan, untuk dijadikan bahan pelajaran, bahan renungan bahkan tentunya untuk dijalankan. Masih relevan, karena memang Beliau sebagai Nabi penutup diutus untuk umat akhir zaman.

Tentang akhlaq Beliau, pada suatu ketika ada seseorang bertanya kepada istri Beliau yaitu Siti ‘Aisyah ra dan dijawab bahwa akhlaqnya Nabi itu adalah Al Qur’an. Jawaban singkat, padat, tidak membutuhkan penjelasan panjang lebar. Nabi SAW sebagai penerima wahyu (Al Qur’an) tangan pertama dari Allah dan Malaikat-Nya Jibril, pasti, tak pelak lagi Beliau tentu saja sangat hafal dengan isi kandungan Al Qur’an; dan bukan sekedar hafal saja, tetapi juga mengamalkan isi ajaran Al Qur’an itu secara penuh dan konsekwen sesuai dengan sifat-sifat Beliau sebagai Rasul (siddiq, tabligh, amanah, fathonah).

Sikap shabar.

Salah satu akhlaq Beliau yang sangat pantas untuk dijadikan teladan adalah keshabarannya. Apalagi pada zaman ini, dimana kalau kita baca melalui media surat kabar, majalah atau kita menonton acara tv dan film bioskop (bahkan sebagian dari kita ada yang dapat menyaksikan sendiri kejadiannya secara live show and true story), tentang peristiwa-peristiwa yang semuanya selalu berkisar pada masalah kekerasan; adu kuat otot dan fisik; pembunuhan; pencurian dengan kekerasan (curas), dll.

Kita sama-sama tahu bahwa kekerasan perangai dari seseorang itu adalah antara lain karena hawa nafsu dalam diri yang tidak dapat dikendalikan, tidak adanya unsur shabar dalam diri orang itu.

Diriwayatkan dalam sejarah Rasulullah SAW bahwa pada suatu ketika Beliau pergi menyampaikan dakwah ke negeri Tha’if. Perjalanan dakwah ke Tha’if ini juga tidak semudah seperti di tempat-tempat lainnya. Di Tha’if, Beliau ditolak dan bahkan dilempari batu hingga melukai diri Beliau. Ketika sedang istirahat di suatu tempat maka saat itu datanglah malaikat yang menyatakan kesediaannya untuk menimpakan gunung ke atas negeri Tha’if agar mereka binasa. Tetapi Nabi menolaknya dan bahkan Beliau berdo’a agar kelak anak cucu mereka menjadi muslim. Itulah sikap shabar yang dicontohkan Nabi SAW kepada kita; dianiaya tetapi justru berdo’a untuk kebaikan bagi yang menganiaya.

Dari kisah di atas dapat dijadikan teladan bahwa shabar dalam Islam tidaklah sama dengan bersikap diam atas suatu peristiwa karena takut dan tidak pula harus dengan melakukan balas dendam atas penganiayaan yang telah diterima, bahkan harus tetap berbuat baik kepada orang yang telah menganiaya dengan mendo’akan kebaikan baginya. Islam adalah agama shilaturahim yang mengajak umat untuk menebarkan sikap shabar bersama sikap kasih sayang dalam berinteraksi sosial, berhubungan dengan makhluk yang lain.

Batas keshabaran.

Sering kita dengar seseorang yang sedang kesal, marah mengatakan : “Sudah habis keshabaranku; cukup tiga kali saja dia berbuat seperti itu kepadaku !”, dimana seolah-olah sikap shabar itu hanya sampai tiga kali saja dan sesudah itu boleh membalas atau berbuat sesuatu sebagai tanda bahwa dia sudah tidak bisa menahan kesabarannya. Keliru, sebab Rasulullah SAW tidak pernah memberi contoh seperti itu. Bagi yang mengerti maka perilaku shabar itu tidak ada batasnya. Karena perilaku shabar mereka itu adalah dalam rangka mengharap ridha Allah.

Shabar itu jalan ke surga.

Shabar itu hendaklah dalam segala situasi dan kondisi karena semua peristiwa adalah cobaan dan dengan itu keimanan seorang hamba Allah sedang diuji, demikian Allah SWT berfirman : Artinya : "Dan sungguh Kami akan mencoba kamu dengan sesuatu dari ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan, dan sampaikanlah berita gembira kepada orang yang shabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, "Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami kembali". (Al Baqarah : 155-156)

Sebagai orang yang mengaku sebagai pengikut Rasulullah SAW, hendaklah kita hiasi akhlak diri dengan sikap shabar karena sikap shabar itu adalah salah satu jalan menuju pintu surga, sesuai firman Allah SWT ; Artinya : "Dan orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, sungguh akan Kami tempatkan mereka pada tempat yang tinggi di surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik balasan orang-orang yang beramal. Yaitu orang-orang yang shabar dan bertawakkal kepada Tuhannya". (Al 'Ankabuut : 58-59)

Sahabat Nabi, Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata : "Ya Rasulullah, nasihatilah saya". Sabda Rasulullah SAW : "Jangan engkau marah" Lalu laki-laki itu mengulangnya beberapa kali dengan ucapan yang sama dan jawaban Rasulullah SAW tetap : "Jangan engkau marah". (HR. Bukhari)

Begitu sangat sulit memang untuk mengendalikan nafsu marah, sehingga Nabi SAW pun tak urung sampai merasakan perlunya untuk menasihati berulang-ulang. Sifat mudah marah akan menjadi azab karena merugikan diri sendiri dan orang lain, serta lingkunganpun dapat ikut rusak akibat kemarahan yang tidak terkendali. Itulah sebabnya Rasulullah SAW juga telah bersabda : "Barangsiapa jauhkan marahnya, niscaya Allah jauhkan daripada nya akan azab-Nya". (HR. Thabrani)

Bershabar, derajat pahalanya oleh Rasulullah SAW disamakan dengan derajatnya orang yang bershaum yang mengerjakan shalat malam : "Sesungguhnya dengan keshabaran itu seorang muslim akan dapat memperoleh derajat orang yang bershaum yang berdiri mengerjakan shalat malam" (HR. Thabrani).

Bahkan Allah SWT telah menyatakan bahwa perilaku shabar dan plus mema’afkan adalah sangat diutamakan bagi seorang muslim ; Artinya : "Tetapi barangsiapa yang shabar dan suka mema’afkan, sungguh hal yang demikian itu termasuk hal yang diutamakan". (Asy Syuuraa : 43)

Seandainya kita umat Islam ini dapat mencontoh perilaku Nabi secara penuh dan benar, tentu saja tidak akan pernah terdengar ada peristiwa kerusuhan yang terjadi seperti di Situbondo, Pekalongan dan Tasikmalaya serta tempat-tempat lainnya.
Sesuai petunjuk dalam Al Qur’an yaitu apabila ada kesulitan dalam hidup ini; daripada berbuat kerusuhan dan keonaran yang dapat merugikan orang banyak (baik harta maupun jiwa) maka lebih baik bershabar dan sholat (do’a).

Firman Allah SWT ; Artinya : “Dan mohonlah pertolongan dengan shabar dan sholat; dan sesungguhnya sholat itu berat, kecuali atas orang-orang yang khusyu’, yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menjumpai Tuhan mereka dan sesungguhnya mereka akan kembali kepada-Nya”. (Al Baqarah : 45-46)

Berdo’a, memohon kepada Allah agar diberi keshabaran dalam menghadapi segala macam persoalan, seperti do’anya Thalut dari Bani Israil (sesudah wafatnya Nabi Musa as), ketika dia beserta tentaranya berhadapan dengan Jalut musuhnya dan tentaranya : “Rabbanaa afrigh 'alainaa shabraw wa tsabbit aqdaa-manaa wan shurnaa 'alal qaumil kaafiriin - Wahai Tuhan kami, limpahkanlah keshabaran atas kami, dan tetapkanlah pendirian kami terhadap kaum yang kafir" (Al Baqarah : 250)

Atau do’anya para ahli sihir Fir’aun ketika mereka berbalik melawan Fir’aun sesudah mereka dikalahkan Nabi Musa as dan kemudian kembali beriman kepada Tuhannya (Allah SWT) : “Rabbanaa afrigh ‘alainaa shabraw wa tawaffanaa muslimiin - Wahai Tuhan kami limpahkanlah keshabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan muslim”. (Al A’raaf : 126)

Waladzikrullahi Akbar.

Jum'at, 20 Rabiul Awal 1418 H - 25 Juli 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar