Jumat, 18 Juni 2010

ETIKA BISNIS - Menurut Ajaran Islam

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dalam Al Qur’an, Allah SWT berfirman ; Artinya : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Al Baqarah : 168)

Pada sa’at Sayidina Umar Ibnu Khattab ra menjadi Khalifah, beliau yang rajin meronda di waktu malam meninjau secara langsung keadaan rakyatnya, suatu ketika telah melihat suatu peristiwa yang sangat menyentuh hatinya. Seperti biasanya malam itu Khalifah ditemani pembantunya bernama Aslam menelusuri lorong kampung yang sempit dan jauh dari kota Madinah. Dari suatu rumah kecil, sepi terpencil dilihatnya sinar cahaya lampu remang-remang masih menyala menembus gelap malam.

Tiba-tiba Khalifah Umar Ibnu Khattab dan pembantunya dikejutkan oleh suara perempuan tua yang bernada memerintah. Lalu mereka berhenti melangkah dan mendekati arah suara tersebut. Rupanya suara itu datang dari dua orang perempuan yang sedang berbicara di dalam rumah kecil yang terpencil itu. Mereka mendengar suara seorang perempuan tua yang berkata kepada anaknya : “Bangunlah wahai anakku, dan campurlah susu itu dengan air. Agar susu itu bertambah banyak untuk kau jual besok pagi dan dengan demikian engkau dapat menjualnya dengan memperoleh keuntungan yang lebih banyak. Sebab kita membutuhkan uang wahai anakku. Apakah kau lupa. Tidakkah kau melihat kemiskinan kita ini?”

Selesai mendengar ucapan ibunya, maka anaknya segera menjawab : “Wahai ibu, apakah ibu tidak tahu ketegasan Amirul Mukminin Umar Ibnu Khattab dalam menjalankan perintahnya?” Ibunya balik bertanya : “Apakah gerangan perintahnya itu?” Lalu si anak gadis menjawab : “Khalifah Umar Ibnu Khattab telah menyerukan kepada semua penjual susu agar tidak mencampurnya dengan air guna memperoleh untung yang besar dari susu yang akan dijual.”
Berkata pula ibunya : “Hai anakku, beliau sekarang tidak melihat kita berbuat demikian, begitu juga tidak seorang pun prajurit beliau yang berada di sini. Jadi, tidak ada seorang pun tahu akan perbuatan kita. Hai anakku, orang banyak telah melanggar pula perintah Khalifah Umar itu.” Anak gadis itu tetap menjawab kepada ibunya : “Ibu, walaupun Khalifah Umar tidak berada di sini dan juga tidak melihat perbuatan kita di tengah malam yang sunyi ini, sebagaimana ibu katakan, tapi bagiku perintah Amirul Mukminin tetap adalah perintah untuk dita’ati oleh setiap orang Muslim, dan semua gerak gerik serta perbuatan kita dilihat oleh Allah SWT. Meskipun Khalifah Umar tiidak tahu tapi Tuhannya Umar pasti tahu akan perbuatan kita. Demi Allah, aku bukanlah orang yang tergolong menaati perintah di keramaian, tetapi mendurhakainya di waktu sunyi seperti ini.”

Itulah adegan sekilas gadis penjual susu dengan ibunya yang disaksikan oleh Khalifah Umar Ibnu Khattab ra beserta pembantunya, tetapi memberikan kesan yang dalam dan lama pada diri Khalifah. Singkat kisah, karena akhlak dan iman yang tinggi dari gadis itu maka Khalifah melamarnya untuk dinikahkan dengan salah seorang anaknya, Ashim. Seorang kepala negara berkedudukan tinggi di jazirah Arab waktu itu menikahkan anak laki-lakinya dengan seorang gadis miskin anak penjual susu hanya karena faktor agamanya semata. Mungkinkah itu dapat terjadi pada masa sekarang ini? Tetapi Khalifah Umar memang tidak salah memilihkan untuk putranya, karena kelak dari anak mereka akan dilahirkan seorang cucu laki-laki bernama Umar bin Abdul Aziz yang kelak terkenal di dunia Islam sebagai seorang kepala negara, pemimpin Islam yang dicintai rakyatnya.

Pedagang Zaman Sekarang
Di masa sulit seperti sekarang ini banyak pedagang yang berperilaku buruk seperti pada bulan Agustus lalu yang diberitakan oleh media massa tentang kecurangan pedagang di Jawa Tengah yang mencampur minyak goreng dengan minyak solar. Akibatnya ada pemakai yang kulitnya melepuh dan menjadi kehitam-hitaman. Dan juga ada perbuatan mengoplos (mencampur) beras import eks Bulog dengan beras lokal yang rendah mutunya dan kemudian dijual dengan harga tinggi. Perbuatan curang dalam menjual barang memang sering terjadi, terutama di kalangan pedagang barang dagangan yang bersifat cair dan biji-bijian seperti susu dan beras.

Kecurangan yang dilakukan yaitu antara lain mencampur barang dagangannya yang bermutu rendah dengan yang bermutu baik lalu dijual dengan harga menurut harga dari barang yang bermutu baik. Padahal barang tersebut sudah tidak murni lagi atau sudah bercampur dengan yang bermutu jelek. Misalnya beras kelas 1 dicampur beras kelas 3 lalu dijual dengan harga jual beras kelas 1. Demikian juga pada barang cair seperti minyak goreng dan susu dilakukan dengan cara yang sama.
Kecurangan lain yang sering terjadi yaitu mengurangi takaran timbangan waktu menjual, dan melebihkannya waktu membeli. Hal ini dilakukan dengan cara menyetel timbangannya sedemikian rupa, sehingga antara berat barang sebenarnya dengan yang tercantum di timbangan tidak sama.

Mengapa Ada Kecurangan

Motif perbuatan curang dalam berdagang adalah agar dapat mengambil untung sebesar-besarnya tanpa perduli pada hak-hak konsumen ataupun kerugian yang diderita konsumen. Islam tidak melarang umatnya mengambil untung dalam berdagang, tetapi hendaklah dengan cara yang halal lagi baik, sesuai ajaran Islam.

Etika Bisnis Islam
Etika bisnis Islam pada dasarnya mengatur agar perniagaan atau jual beli itu tidak merugikan konsumen sehingga harus dilakukan dengan cara :
(1) yang baik (tidak batil) dan
(2) dilakukan atas dasar suka sama suka serta
(3) yang diperdagangkan hendaklah barang halal lagi baik (tidak merusak tubuh)

sesuai firman Allah SWT dalam ayat berikut : “Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (An Nisaa’ : 29)

Dalam Al Qur’an dan hadits, ketiga prinsip dasar etika bisnis Islam tersebut dijelaskan lebih jauh, antara lain yaitu :

1. Tidak curang dalam menakar.
Mengurangi timbangan barang jelas merugikan konsumen karena jumlah barang yang diterimanya tidak sepadan dengan harga yang dibayarnya sehingga perbuatan tersebut sangat dibenci sesuai firman Allah SWT : “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (Al Muthaffifiin : 1-3)

2. Tidak menutupi cacat barang
Menutup-nutupi cacat barang, juga termasuk perbuatan curang, menipu dan merugikan konsumen. Pedagang hendaklah menyebutkan apa saja kekurangan barangnya sehingga kelak konsumen tidak merasa tertipu.

3. Tidak mengenakan riba (bunga).
Riba menyebabkan harga menjadi lebih tinggi dari harga awal (biasanya terjadi dalam penjualan secara kredit) sehingga sering sangat memberatkan konsumen. Hal ini terjadi pada jual beli kendaraan yang sering berakhir dengan barang disita tetapi uangnya tidak kembali kepada si pembeli. Dalam hal ini si pembeli menjadi pihak yang teraniaya. Firman Allah SWT : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al Baqarah : 278-279)

4. Tidak menjual barang yang dilarang dan merusak tubuh.
Barang seperti narkoba (narkotik dan bahan additif) ataupun juga senjata api termasuk yang dilarang diperjual belikan tanpa izin oleh negara, karena dapat disalah gunakan pemakaiannya. (Al Baqarah : 168)

5. Berdasar suka sama suka yang ditandai dengan ijab - qabul.
Ijab-qabul menunjukkan kesepakatan (suka sama suka) antara pedagang dan pembeli baik mengenai harga, jumlah dan mutu barang. Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya jual beli itu hanya sah bila suka sama suka.” (HR. Ibnu Hibban)

6. Mencatat jumlah hutang.
Bila pembayaran tidak secara tunai maka hendaklah hutang itu dicatat oleh kedua pihak dengan menggunakan saksi (bukti) untuk menghindari perselisihan di kemudian hari. (Lihat Al Baqarah : 282)

Bagi para pedagang yang melanggar ketentuan-Nya (An Nisaa’ : 29) di atas maka Allah akan memasukkan mereka ke neraka : “Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (An Nisaa’ : 30).

Demikianlah semoga ada manfaatnya.

Waladzikrullahi Akbar

Jum’at, 22 Jumadil Ula 1420, 30 September 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar